Jumat, Maret 27, 2009

P2B PKS Telah di Lokasi Musibah Situ Gintung

Posko Penangggulangan Bencana dari PKS langsung terjun ke lokasi bencana di Situ Gintung Ciputat .

"Saat ini yang paling dibutuhkan masyarakat adalah bantuan makanan" Ujar Zulhendri saat dihubungi melalui telpon.

PK-Sejahtera Online: Jebolnya tanggul Situ Gintung mengejutkan semua orang. Musibah yang terjadi pada Jumat (27/3) pukul dua dinihari tersebut telah mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa dan kerugian materil. Saat ini DPP PKS melalui Posko Penanggulangan Bencana (P2B) telah berada di lokasi Musibah sejak pagi.

kabar terakhir dari lokasi musibah, masyarakat melaporkan bahwa total korban hilang ada sekitar seratus orang. berita terakhir yang didapatkan Zulhendri, Korlap P2B PKS di lokasi musibah telah ditemukan 36 orang meninggal dunia.

Saat ini, PKS Kabupaten Tangerang dan PKS ranting Kelurahan setempat telah mendirikan posko di kampus salah satu perguruan tinggi yang dekat dengan lokasi musibah untuk membantu korban.

"Saat ini yang paling dibutuhkan masyarakat adalah bantuan makanan" Ujar Zulhendri saat dihubungi melalui telpon. Bantuan dalam bentuk makanan jadi mungkin lebih baik karena menurut Zulhendri, banyak masyarakat yang rumahnya hancur sehingga mungkin kesulitan apabila harus memasak.

"Saat ini empat orang dari tim kami (P2B PKS) bergabung dengan tim PKPU tengah menyusuri sungai. Siapa tahu masih ada korban yang tersangkut" Pungkasnya

Memilih Caleg dan Parpol

Ustadz Sigit Pranowo, Lc.


Asy Syeikh Faishal Maulawi wakil ketua Majlis Eropa untuk Riset dan Fatwa mengatakan apabila ada yang mengatakan bahwa islam hanya menganjurkan kepada satu partai adalah pernyataan yang tidak betul. Maksud partai di sini adalah “Partau Politik”. Dengan makna ini maka sesungguhnya kaum muslimin sejak masa Rasulullah saw telah mengenal multi partai politik—walaupun tidak sama persis dengan partai-partai yang ada saat ini—

Orang-orang Muhajirin dan Anshar saling berinteraksi bagaikan dua partai politik—walaupun sebetulnya mereka lebih mulia dari penamaan itu—mereka pernah berbeda pendapat tentang pemilihan khalifah yang baru setelah Rasulullah saw wafat, inilah perbedaan politik yang pertama didalam islam.

Orang-orang Anshar menginginkan bahwa khalifah berasal dari kalangan mereka begitu juga dengan orang-orang Muhajirin—dan puncak dari aktivitas partai-partai politik saat ini adalah mereka bisa memimpin dan mendapatkan kepemimpinan— (http://www.islamonline.net/)

Kondisi seperti ini pula lah yang ada di negeri kita dengan banyaknya partai politik islam yang ikut serta didalam pemilu untuk meraih dukungan suara dari rakyat. Tentunya seorang muslim melihat bahwa hak suara yang ada padanya merupakan amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.

Setiap muslim yang memiliki hak suara didalam pemilu bagaikan seorang saksi dalam suatu pengadilan. Islam melarang setiap muslim memberikan kesaksian yang tidak benar atau palsu akan tetapi diharuskan bagi setiap mereka untuk memberikannya secara jujur dan mampu mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah swt sebagaimana firman-Nya yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman :Artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (QS. Al Furqon : 72)

Termasuk kepalsuan adalah ketika seorang pemilih muslim menggunakan hak suaranya kepada orang-orang yang tidak berpihak kepada islam dan kaum muslimin, tidak mempunyai keinginan menerapkan syariat Allah di negeri ini, tidak memiliki keberanian dan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan sasaran itu dengan tetap istiqomah diatas jalan-Nya, orang-orang lemah yang mudah hanyut dengan kemewahan dunia dan kekuasan yang kemudian akan meninggalkan umatnya jauh dibelakang.

Hal itu sering terjadi dikalangan pemilih kaum muslimin karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan jelas tentang semua caleg yang ada. Mereka hanya mendasarinya pada janji-janji dan sikap-sikap manis para caleg dalam kampanye-kampanyenya, ajakan teman-teman ataupun orang-orang yang yang ada di sekitarnya atau hanya karena dirinya sudah begitu kesengsem dengan suatu partai atau ormas tertentu sejak dahulunya sehingga tidak mungkin mengalihkan pilihannya ke partai yang lainnya padahal pengetahuan dari itu semua belum tentu cukup baginya untuk menjadi dasar pilihannya.

Untuk itu setiap pemilih muslim diharuskan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap setiap calon-calon yang akan dipilihnya nanti dalam pemilu, sebagaimana arahan Rasulullah saw kepada Ibnu Abbas ra,”Wahai Ibnu Abas janganlah kamu memberikan kesaksian kecuali terhadap sesuatu yang telah tampak terang bagimu seperti terangnya matahari’” kemudian Rasulullah saw memberikan isyarat dengan tangannya ke arah matahari.” (HR. al Hakim)

Untuk menentukan partai mana yang bisa menjadi harapan kaum muslimin di pemilu nanti mungkin kita bisa merujuk kepada pendapat Syeikh Yusuf al Qaradhawi ketika menjelaskan tentang kriteria partai islam dalam kondisi multi partai, diantara yang bisa saya simpulkan adalah :
  1. Memiliki perhatian penuh kepada perbaikan masyarakat di berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, tsaqofah, pendidikan, politik, moral dan lain-lain.
  2. Menyandarkan program-programnya kepada syari’ah islamiyah.
  3. Tidak menggunakan cara-cara dan metodologi yang menyimpang dari prinsip-prinsip syari’ah.
  4. Senantiasa melakukan ijtihad dan tajdid.
  5. Mengkorelasikan segala upayanya dengan prinsip-prinsip fiqh al maqashid, fiqih al muwazanat dan fiqh al aulawiyat.
Adapun kriteria caleg atau calon yang diharapkan bisa menjadi harapan kaum muslimin didalam menegakkan nilai-nilai islam di negeri ini adalah :
  1. Komitmen dengan prinsip-prinsip syari’ah.
  2. Komitmen dengan prinsip-prinsip akhlak islam.
  3. Komitmen dengan prinsip-prinsip perundang-undangan yang membawa kepada kemaslahatan umat.

Sebagai tambahan kriteria adalah apa yang disebutkan oleh Prof. DR. Muhammad Abdur Razaq ath Thabthabai’, Dekan Fakultas Syari’ah dan Studi Islam di Universitas Kuwait yang mengatakan bahwa seorang caleg yang kelak akan menjadi anggota parlemen harus memenuhi sekian banyak persyaratan diantaranya :
  1. Tidak ada didalam diri seorang caleg niat untuk berlomba mendapatkan jabatan duniawi atau berbagai keuntungan semu.
  2. Tidak melakukan persaingan dengan orang yang diketahui olehnya bahwa diri orang itu lebih cakap dan lebih pantas darinya untuk menduduki posisi itu. Apabila dia mengetahui bahwa ada seseorang yang lebih mampu dan lebih pantas darinya untuk pekerjaan itu maka hendaklah dia mendahulukan orang itu dari dirinya.
  3. Memiliki kemampuan dengan pekerjaannya itu untuk menunaikan berbagai kewajibannya berupa perbaikan, monitoring dan berbagai tuntutan dari rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya kepada dirinya.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa persyaratan-persyaratan itu mengharuskan seorang pemilih untuk mencari calon-calon yang paling memenuhi persyaratan berupa kecakapan dan kesanggupan dalam menjalankan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya serta mampu bersikap adil dan bijaksana.

Apabila berbagai persyaratan itu terdapat didalam diri seorang calon maka tidak diperbolehkan memilih selainnya dengan alasan barter atau menjual-belikan suara atau yang lainnya sebagaimana diharuskan juga bagi seorang pemilih untuk tidak menentukan pilihannya hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan, tetangga, kepentingan tertentu, satu jama’ah atau ormas tempat dia bernaung dan yang paling berat dari itu semua adalah pemilihan calon berdasarkan suap (sogok) baik berupa materil atau kemaslahatan lainnya maka ini adalah haram menurut syariah.

Dan apabila hal ini terjadi didalam diri caleg atau pemilih maka keduanya terlaknat dan bagi orang yang mengambil suap diharuskan untuk segera mengembalikannya kepada orang yang menyuapnya. (http://www.almujtamaa-mag.com/)


Wallahu A’lam

Jumat, Maret 20, 2009

TAFSIR SURAT AL-'ASHR

Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.

Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman besi di dalam sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada orangnya).

Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.
Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”
Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun, ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.
Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.
Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.
Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)

Rangkuman khutbah Jumát

Jum'at 21 Maret 2009
Siang ini sholat Jum'at di Masjid Bimantara di isi oleh Prof. Dr. KH. Quraish Shihab (Khotib) dan Dr. Ahzami Sami'un Jazuli MA (Imam)
Pada kesempatan khutbah Jum'at siang ini Prof. Dr. KH. Quraish Shibab memngambil tema Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dalam khutbahnya beliau mengatakan seandainya umat Islam mengadakan maulid nabi setiap hari adalah merupakan sesuatu yang wajar dan bahkan wajib, karena kata beliau bahwa dengan maulid nabi Muhammad SAW yang kita adakan maka kita akan senantiasa mengingat serta mengikuti keteladan beliau dalam segala aspek kehidupan.
Mustahil rasanya seorang muslim akan mempunyai kepribadian Islami manakala tidak pernah tahu dan paham jalan dakwah rasulullah.
  • Bagaimana beliau bersikap terhadap kawan maupun lawan.
  • Bagaimana beliau bersikap kepada orang yang lebih tua maupun yang lebih muda.
  • Bagaimana beliau bersikap kepada orang yang lebih kaya maupun kepada para dhuafa.
  • Bagaimana beliau bertutur kata kepada sesama
  • Bagaimana beliau melalui rintangan - rintangan dakwahnya
  • Bagaimana baliau memperlakukan wanita
  • Bagaimana beliau menjadi seorang murrabi

Sehingga dengan hal tersebut maka sudah sewajarnya seorang muslim mengadakan maulid nabi setiap hari dalam rangka mencontoh keteladanan beliau. Yang dimaksud mengadakan maulid nabi disini tidak sekedar perayaan yang tanpa arti yang hanya bersifat ceremonial belaka, tapi maulid nabi dalam rangka mencontoh dan meneladani perilaku beliau dalam segala aspek kehidupan, serta menumbuhkan ruh keIslaman dalam rangka menegakkan kalimatIllah. Seorang muslim akan senantiasa terjaga semangat keimanannya manakala sering menapaki sirah Nabi Muhammad SAW dengan membaca buku - buku peri hidup Rasulullah.

Karena pada umumnya kepribadian manusia itu dibentuk oleh 4 hal :

  1. Ayah
  2. Ibu
  3. Bacaannya
  4. Lingkungannya
  • Ayah yang senantiasa memberi contoh serta mengarahkan kepada kebaikan serta mengupayakan harmoni dalam rumah tangga dengan bingkai Iman dan Islam maka akan memunculkan sikap optimis dan percaya diri pada diri anak, sehingga memunculkan pribadi yang disiplin diri.
  • Ibu yang senantiasa mengajarkan kasih sayang penuh kelembutan tutur kata , kesabaran serta keikhlasan akan membentuk pribadi anak menjadi anak yang santun, tidak berkata kasar dan mengerti akan tanggung jawabnya.
  • Anak yang gemar membaca akan membuka wawasannya sehingga mampu membaca tanda - tanda kebesara Allah SWT.
  • Lingkungan yang baik maka akan melahirkan generasi yang baik pula.

Tapi kepribadian Rasulullah tidak terbentuk dari ke 4 hal tersebut, karena ketika beliau masih ada didalam kandungan ayahnya sudah meninggal, dan tak begitu lama beliau dilahirkan beliau dititipkan kepada Halimah Sa'diah di tempat yang jauh dari Ibunya dan ketika beliau kembali tidak begitu lama Ibunya meninggal dunia pula. Dan beliau tidak juga menjadi orang yang pandai membaca dan menulis maka beliau disebut nabi yang umi. Dan lingkungan dimana beliau dibesarkan adalah lingkungan jahiliyah dimana banyak kejahatan, kemaksiatan dan kesyirikan.

Tapi mungkin timbul pertanyaan di lubuk hati kita, kenapa rasulullah tidak masuk dalam 4 kategori pembentuk kepribadian tersebut kok bisa mempunyai kepribadian yang luar biasa.

Karena memang hal tersebut merupakan kehendak Allah , agar kepribadian Muhammad dibentuk oleh sang gurunya yaitu Malaikat Jibril. Sehingga mempunyai kepribadian yang sempurna, yang tiada seorang manusiapun dapat melebihi dengan kepribadian beliau.

Wallahu a'lam bishowab

Kamis, Maret 19, 2009

Marhalah (Tahapan) Dakwah

Rabu, 18/02/2009 12:08 WIB
Aktivis dakwah mestinya yakin bahwa dunia ini sangat memerlukan dakwah Islam yang sejati. Lebih dari itu, dia juga yakin kepada pertolongan Allah. Inilah faktor-faktor kejayaan yang tidak dapat dihalang oleh rintangan apa pun.
bagian dua
Kita berusaha sungguh-sungguh di dalam lembaran kita ini untuk mengenali jalan dakwah dan ciri-cirinya yang istimewa dan tersendiri. Ini adalah untuk penyatuan kefahaman supaya kita tidak dicerai-beraikan oleh berbagai jalan. Juga supaya kita mendapat faedah dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh jamaah Islam yang terdahulu dan kemudiannya dihidangkan pula dengan sempurna kepada generasi baru yang muda supaya mereka mengetahui jalan dakwah dan terus memikul tugas dan amanah itu supaya pendokong dakwah Islam bercantum semula lalu mereka bersatu padu, berganding bahu dan berjalan ke satu arah dan satu tujuan.
Segala kekuatan dan usaha diselaraskan dan diatur rapi sehingga terbukti pertolongan Allah dan bendera Al-Quran sentiasa berkibar-kibar di angkasa seluruh alam. Dan pada hari itulah golongan mukmin bergembira dengan pertolongan Allah.
"Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah (s.w.t)." (Ar-Rum: 4 – 5)
2.1 Tuntutan Marhalah Ini
Kita telah menyatakan terlebih dahulu bahwa dakwah Islam, seruan Islam pada seluruh dunia (marhalah antara bangsa) melalui marhalah yang sangat penting, halus dan genting di dalam umurnya. la adalah satu kebangkitan setelah tersungkur, satu kesedaran setelah terlena, malah mengalami satu marhalah pembentukan dan memacakkan dasar dan asas binaan yang teguh untuk daulah Islam yang global (khilafah Islam yang merangkumi seluruh dunia) yang membawa hidayah kepada manusia yang sesat dan membangunkan satu kebudayaan yang paling besar pernah berlaku dalam sejarah setelah bankrapnya semua sistem dan cara hidup manusia.
Kita telah mengakui bahawa terdapat persamaan yang besar antara marhalah kita inidengan marhalah pertama dakwah Islam di Mekah. Iaitu tentang asingnya dakwah Islam di tengah-tengah jahiliah yang menguasai setiap penjuru dunia, tekanan golongan kufur dengan seluruh kekuatannya ke atas mereka dan sedikitnya bilangan mukmin yang terdedah kepada penindasan yang sangat ganas dari pihak jahiliah yang berkuasa ketika itu.
Kita suka menerangkan di sini bahwa kewajiban muslimin semasa berada dalam marhalah ini tidak sama dengan kewajiban mereka semasa berada di bawah daulah Islam yang telah tertegak dan kuat. Tidak syak lagi bahwa marhalah pembentukan dan pembinaan dasar-dasar dan asas adalah sukar dan sulit. la memerlukan iman yang mendalam, kesabaran dan menyabarkan pembentukan yang rapi, halus serta teliti dan amal usaha yang berterusan tanpa kenal payah dan lelah.
Betapa tidak! Kerana orang-orang mukmin yang bekerja dan berusaha ke arah itu sangat sedikit bilangannya dan lemah kekuatannya pada hal mereka menghadapi ancaman kebatilan yang maha kuat dan berkuasa malahan mereka tidak bersenjata kecuali senjata iman.
Di dalam pengertian ini Imam As-Syahid Hassan Al-Banna telah berkata melalui perumpamaan yang indah dan halus:
"Sesungguhnya pembentukan ummah, pendidikan bangsa-bangsa, merealisasikan cita-cita dan mendokong pendirian (pegangan hidup) memerlukan ummah yang berusaha ke arah itu atau dari golongan yang menyeru kepadanya. Ini sekurang-kurangnya memerlukan kekuatan jiwa yang terhimpun di dalamnya beberapa perkara:
Yaitu, kemahuan yang tidak mengenal lemah, kesetiaan yang tetap yang tidak disaduri oleh kepura-puraan dan khianat, pengorbanan yang banyak yang tidak dihalang oleh tamak dan haloba serta kebakhilan, dan makrifah (mengenalpasti) dasar pegangan hidup, beriman kepadanya dan menghargainya sungguh-sungguh.
Semuanya itulah yang memelihara (kita) dari kesalahan dan penyelewengan daripadanya (pembentukan) dan tawar-menawar (apologetik) di atas perkara dasar dan tidak terdaya dengan yang lainnya".
Dengan kehendak dan izin Allah, kita kini hidup di masa-masa yang penting dan genting di dalam usia dakwah Islam ini dengan segala tuntutan dan cabarannya. Allah telah memudahkan kita untuk mengetahui cara-cara dan kaedah-kaedah yang sahih dan benar untuk beramal dan berusaha di dalam dakwah Islam.
Kita berharap dan memohon kepada Allah supaya Dia memberi taufik dan hidayahNya kepada kita untuk mendokong amanah agung dan mulia ini, setelah ditinggalkan oleh kebanyakan manusia. Kita benar-benar berharap semoga kita layak menjadi ahli dan layak menerima pilihan itu dari Allah Taala hingga kita mampu mendokong dakwah Islam ini dengan penuh keazaman, ketangkasan dan ketegasan sekalipun tugas ini sangat besar dan berat.
Lantaran itu, kita menyeru kepada tiap-tiap orang yang tampil ke hadapan untuk mencapai kemuliaan amal dakwah ini dan melalui jalan dakwah supaya dia menguatkan jiwa dan menyediakannya untuk memikul segala apa yang diperlukan oleh marhalah ini, mendokong berbagai bebanan dengan penuh keazaman, ketahanan, ketetapan, penuh percaya dan harap kepada Allah Taala dan yakin sepenuhnya akan kemuliaan dan ketinggian dakwah ini dengan keagungan tujuannya.
Dia yakin sungguh-sungguh bahwa dunia ini sangat-sangat memerlukan dakwah Islam yang sejati. Lebih dari itu dia yakin kepada pertolongan Allah. Inilah dia faktor-faktor kejayaan yang tidak dapat dihalang oleh apa jua rintangan.
2.2 Marhalah-marhalah Dakwah
Setiap dakwah mestilah melalui tiga marhalah:1. Marhalah ad-Di'ayah (at-Ta'rif): Marhalah propaganda, memperkenalkan, menggambarkan fikrah dan menyampaikan kepada orang ramai di setiap lapisan masyarakat.
2. Marhalah at-Takwin: Marhalah pembentukan, memilih para pendokong, menyiapkan angkatan tentera, pendakwah dan jihad erta mendidik mereka. Mereka dipilih dari golongan yang telah menyambut seruan dakwah.
3. Marhalah Tanfiz: Marhalah pelaksanaan, beramal, berusaha untuk mencapai tujuan.Selalunya ketiga-tiga marhalah ini berjalan berseiring dan diselaraskan memandangkan bahwa kesatuan dan kekuatan dakwah adalah bergantung kepada percantuman di antara satu dengan seluruhnya. Oleh itu para pendokong dakwah di dalam berdakwah, mestilah memilih dan membentuk dan di waktu yang sama dia beramal dan melaksanakan apa yang boleh dilaksanakan.
Tidak mungkin lahir ke alam nyata satu marhalah dari marhalah-marhalah itu dalam bentuk yang sempurna kecuali menurut tertib susunan itu. Tidak mungkin sempurna pembentukan ini tanpa pengenalan makrifah dan pengenalan yang sahih dan benar. Tidak mungkin lengkap satu pelaksanaan yang sempurna tanpa pembentukan dasar pendidikan yang sempurna.
Dakwah Islam yang pertama di zaman Rasulullah s.a.w. telah melalui tiga peringkat ini.
Muslimin di zaman itu telah mengenali agama mereka, terdidik dan terbentuk di madrasah Rasulullah lalu mereka bangun dan membangkit mendokong dakwah Islam dengan sebaik-baiknya.
Oleh kerana itu, kita diperingatkan supaya sentiasa berwaspada dari sudut jalan manakah seseorang itu menyeru dalam usaha-usaha dan kerja-kerja Islamnya. Adakah dia memberi perhatian dan memberikan hak kepada ketiga-tiga marhalah itu.
Sesungguhnya sesiapa yang tampil ke hadapan untuk melaksanakan tugas untuk dakwah dan merealisasikan cita-cita dakwah, dia mestilah mengetahui dengan sungguh-sungguh dakwah Islam. Mereka mengenali dan memahami dasar dengan pengenalan dan kefahaman yang sebenar-benarnya. Di samping itu dia mesti menjadicontoh yang benar dan baik dalam setiap lapangan hidup.
Oleh kerana itu di sini kita akan coba membentangkan bagaimanakah bentuk marhalah atau peringkat-peringkat itu dengan penerangan yang lebih luas sedikit daripada yang lalu supaya anda lebih jelas tentang perkara ini.
2.3 At-Ta’rif (Pengenalan) atau Membicarakan Dakwah:
Marhalah ini penting dan asas sebab ia merupakan langkah pertama di dalam perjalanan kita di atas jalan dakwah. Sebarang kesilapan atau penyelewengan yang dilakukan di dalam pengenalan, makrifah dan kefahaman ini akan membawa kepada natijah dan akibat yang buruk dan akan membawa dakwah terpesong jauh dari garisannya.
"Dan bahawa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka itulah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), kerana segalajalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa". (Al-An'aam: 153)
Di zaman Rasulullah s.a.w. Islam telah disempurnakan perkembangannya dan penyampaian menurut bentuknya yang sahih dan benar, bersih dari segala campuran, kekurangan dan penyelewengan. Al-Amin Jibril membawa turun wahyu dari Allah kepada Al-Amin Muhammad s.a.w. lalu baginda menyampaikan Islam itu kepada manusia dengan amanah dan benar. Akhirnya sempurnalah agama itu menurut yang diyakini benar dan suci dari segala saduran.
Walaupun sepanjang sejarahnya ia sentiasa terdedah kepada pelbagai usaha, tipu daya dan gangguan yang cuba meruntuhkannya, menghapuskannya oleh musuh-musuh Islam atau berupa penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pelampau-pelampau dari kalangan muslim sendiri, namun demikian Allah tetap memelihara KitabNya (Al-Quran) dan menjaminnya dengan begitu rapi.
Di samping itu ramai imam dan ulama yang mulia mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah s.a.w. yang mulia dan menapisnya dari segala yang asing daripadanya. Demi memastikan kita sentiasa berjalan di atas jalan Rasulullah s.a.w. maka wajiblah kita kembali semula memahami Al-Quran, memahami Sunnah Rasulullah s.a.w dan memahami sirah salafussoleh atau angkatan muslimin pertama radhiallahu'anhum dengan menjauhi sungguhsungguh dari segala kesalahan, penyelewengan atau pun dari terpesong.
Inilah yang benar-benar dikehendaki oleh imam kita As-Syahid Hassan Al-Banna dan menjadikannya rukun pertama dalam rukun bai' ah. Malah beliau telah menulis untuknya dua puluh dasar sebagai garis panduan yang melingkungi fikrah ini untuk membersihkannya dari segala campuran dan saduran dan menjauhkannya dari segala perselisihan dan perpecahan.
Supaya fahaman ini menjadi penolong bagi mengumpulkan muslim di atas jalan dakwah, berusaha untuknya dan beramal baginya di dalam suasana tolong-menolong dan berganding bahu.
Iradah Allah telah menghendaki agar kefahaman (fikrah) di dalam jamaah Ikhwanul Muslimin ini terdedah kepada gangguan, ujian dan penapisan. Di tengah-tengah ujian ini terdapat pula kecuaian dan keterlaluan (ekstrim). Ada di antaranya yang berpendapat supaya Ikhwan menjauhkan diri dari arus pemerintahan dan politik demi memelihara diri dan dakwah dari sebarang akibat yang tidak diingini.
Ada pula di antaranya yang melampau dan keterlaluan lalu menganggap semua umat Islam yang tidak menyetujui fikrah mereka adalah kafir. Walau betapa kusut dan bercelarunya kefahaman sebahagian dari manusia namun demikian, Allah s.w.t. telah menyediakan Imam As-Syahid Al-Banna untuk dakwah Islam dan mengemukakannya kepada manusia dengan jelas dan terang serta murni.
Allah menyediakan untuk dakwah ini Imam Hassan Al-Hudhaibi rahimahullah dengan keistimewaannya yang tersendiri, dengan ketahanannya, dengan keteguhannya bersama kebenaran, lalu beliau menolak kecuaian dan keterlaluan itu.
Untuk itu beliau telah menerima berbagai-bagai gangguan dan kesusahan yang dasyhat. Tetapi, beliau bersungguh-sungguh memelihara amanah dakwah di dalam kefahaman sifat dan akhlak hinggalah dia mengadap Ilahi dan kemudian beliau menyerahkannya kepada pendokong dakwah yang lain tanpa perubahan dan penukaran, berdiri dan bertahan bersama-sama dengan Ikhwan.
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya)." (Al-Ahzab: 23)

(Dari Buku Thariqud Dakwah (Jalan Dakwah) oleh Syaikh Mustafa Masyhur)eramuslim.com

Penjelasan Umum Mengenai Jalan Ini

Rabu, 11/02/2009 15:22 WIB
Siapa di antara kalian yang ingin cepat memetik buah sebelum masak atau hendak memetik hasil sebelum masanya, maka aku tidak bersama dengannya sama sekali dan lebih baik baginya meninggalkan dakwah ini dan carilah dakwah yang lain.
bagian satu
Dakwah Ikhwanul Muslimin merupakan satu suara dakwah dari seri dakwah dan seruan Rasullah s.a.w. yang pertama, yang tersemat kukuh di hati mukminin dan berulang kali menjadi sebutan di lidah mereka. Mereka berusaha bersungguh-sungguh untuk menanam keimanan di hati umat Islam supaya mengamalkannya dalam setiap kegiatan hidup mereka, supaya hati-hati mereka berpadu di atasnya.
Sekiranya mereka dapat berbuat demikian Allah akan menolong dan membantu mereka serta menunjukkan mereka jalan yang benar dan lurus. Marilah kita beriman dan beramal. Marilah kita berkasih sayang dan bersaudara.
Hala Tuju: Inilah setinggi-tinggi hala tuju yang kita harus berusaha kepadanya. Lantaran itu, Allahlah tujuan kita. Tidak ada suatu yang kita tuju kecuali Allah. Kita beriman kepadaNya. Kita melihat segala sesuatu untuk Dia di dalam hidup kita. Kita beribadah kepadaNya dengan sepenuh hati.
Kita mencari keredhaanNya dalam setiap usaha kita dari sekecil-kecil perkara hingga kepada sebesar-besarnya dalam setiap kegiatan hidup kita dengan penuh ketulusan dan keikhlasan yang sempurna serta benar-benar yakin bahawa disitulah terletaknya kebahagiaan yang sejati, hidayah yang hakiki dan kejayaan yang sebenar.
"Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu." AzZaariyat: 50
Tugas dan Kepentingannya adalah besar dan agung yaitu memimpin dunia, mengajar seluruh manusia kepada sistem Islam, cara hidup Islam dan ajaran yang baik di mana manusia tidak mungkin bahagia tanpanya. Tugas ini bukan tugas juz 'iah, bukan separuh-separuh dan bukan sebahagian-bahagian. Bukan hanya untuk mencapai tujuan-tujuan sebatas politik, sosial dan ekonomi saja. Bukan juga hanya untuk satu tempat atau satu daerah tertentu. Bukan juga terbatas kepada satu bangsa dan tanahair yang tertentu.
Tetapi, ia satu tugas agung yang meliputi setiap aspek kehidupan demi kebaikan yang paling sempurna dan paling bahagia kepada seluruh manusia, bahkan bagi seluruh makhluk Allah karena sesungguhnya Rasullah itu diutus untuk membawa rahmat ke seluruh alam.
Balasannya sangatlah besar. Selain daripadanya adalah kecil belaka. Segala yang ada dalam kehidupan kita di dunia, semua nikmat, harta benda, kekuasaan, kesenangan dan kemewahan semuanya kecil belaka. Balasannya di sana adalah syurga yang seluas langit dan bumi.
Di dalamnya disediakan apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh fikiran. Di sana kita akan bersama dengan para anbiya', para siddiqin, para syuhada' dan para salihin kerana merekalah sebaik-baik sahabat. Kita akan selamat dari azab neraka yang bahan bakarnya terdiri dari batu dan manusia. Kemuncak dari itu semua ialah 'keredhaan Allah'.
"Dan keredhaan Allah adalah lebih benar, itu adalah keberuntungan yang besar.” At Taubah :72
1.1 Tabiat Jalan Dakwah:
"Aliif Laam Miim. Adakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan kami telahberiman sedangkan mereka tidak diuji. Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Lantaran itu Allah mesti mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang berdusta.”. Al-Ankabut: 1-3
Jalan dakwah tidak ditaburi dengan bunga-bunga, tetapi merupakan satu jalan yang susah dan panjang. Kerana sesungguhnya antara yang hak dengan batil ada pertentangan yang nyata. Ia memerlukan kesabaran dan ketekunan memikul bebanan yang berat. Ia memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera tanpa putus asa dan putus harapan. Yang diperlukan ialah usaha dan kerja yang berterusan dan hasilnya terserah kepada Allah di waktu yang dikehendakiNya.
Mungkin anda tidak akan dapat melihat natijah serta hasilnya ketika anda masih hidup. Sesungguhnya kita hanya disuruh beramal dan berusaha, tidak disuruh melihat hasil dan buahnya.
Sesungguhnya apa yang akan ditemui oleh para duat di jalan Allah adalah gangguan dan tekanan dari golongan taghut dan musuh-musuh Allah yang mau menghapuskan mereka, memusnahkan dakwah mereka atau menghalang mereka dari berdakwah. Itu adalah lumrah yang telah berlaku berulang kali di zaman ini. Semuanya didorong oleh rasa takut golongan taghut. Mereka takut kuasa mereka yang berdiri di atas dasar kebatilan akan musnah apabila yang hak bangun dan tegak untuk menghapuskan kebatilan.
"Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap."Al-Anbiyaa': 18
Bagi menghalakan terkaman dan cengkaman kuku besi mereka ke atas dakwah al-hak dan para pendokong dakwah, mereka terlebih dahulu akan mereka-reka pelbagai tuduhan yang paling kejidan dusta itu kemudianya dilemparkan kepada para pendokong dakwah.
Mereka gambarkan kepada manusia bahawa para pendokong dakwah adalah musuh negara dan musuh orang ramai supaya orang ramai bangun menentang mereka seperti apa yang dilakukan oleh Firaun dan para pembesarnya terhadap Nabi Musa.
"Dan berkatalah Firaun (kepada pembesar-pembesarnya): Biarlah aku membunuh Musa dan hendaklah dia memohon kepada Tuhannya, kerana sesungguhnya aku khuatir dia akan menukar agamamu ataumenimbulkan kerusakan dimuka bumi".Al-Mukmin: 26
Subhanallah, Maha Suci Allah. Demikianlah sikap Firaun dan pembesar-pembesarnya, sikap pengikut-pengikut Firaun di zaman itu ataupun di zaman ini. Nabi Musa dituduh sebagai perusak dan Firaun dianggap sebagai pembela bangsa dan memelihara kepentingannya.
Pembesar-pembesar Firaun menghasut Firaun supaya menentang Musa dan kaumnya serta menakut-nakutkan Firaun akan perbuatan Musa. Lalu Firaun menenangkan fikiran mereka dengan menyatakan bahawa dia akan mengawasi Musa:
"Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun): Apakah kamu akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?
Firaun menjawab : Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka, sesungguhnya kita berkuasa penuh ke atas mereka". Al-A'raaf: 127
1.2 Balasan Baik Bagi Orang-orang Yang Bertakwa:
Namun, semua itu tidak melemahkan iman Musa dan kaumnya. Musa mewasiatkan kepada merekasupaya bersabar dan memohon pertolongan dari Allah s.w.t. dan menggembirakan mereka serta menenangkan hati mereka dengan mengingatkan bahawa bumi ini kepunyaan Allah. Dia pasti akanmempusakakannya kepada hamba-hambanya yang bertakwa.
"Musa berkata kepada kaumnya: Mohonlah pertolongan dari Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipuskakannya kepada sesiapa yang dikhendakiNya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa" AlA'raaf: 128
Jadi jalan dakwah, walau bagaimana pun susahnya, deritanya dan pahit akibatnya, tetapi terjaminhasilnya.
"Kami selalu berkewajipan menolong orang-orang yang beriman " Ar-Rum: 17
1.3 Inilah Marhalah (Peringkat) Dari Jalan Dakwah
Islam di Timur telah berjalan di atas dakwah Islam, telah membangun satu kebudayaan yang tiadatolok bandingnya, kemudian tidur nyenyak lalu kehilangan mutiara dakwah di dalam hidup manusia. Lantaran itu mereka kehilangan segala kekuasaan dan segala kehebatannya. Bumi mereka telah dijajah oleh bangsa-bangsa jahiliah. Kekayaan mereka telah dirampas dan dirompak. Jihad dan perundangan Islam telah disembunyikan. Lebih dari itu, akhlak Islam telah disorokkan.
Hancur berderailah segala kemuliaan lalu diganti dengan ananiah (individualistik) dan kekacauan.Mudahlah kekufuran dan keingkaran mengambil jalannya tanpa rintangan dan halangan. TetapiAllah Taala yang Maha Suci telah menyediakan sebab musabab untuk kebangkitan Islam di Timur itu dari tidur, kebangkitan Islam yang baru di zaman baru ini.
Dalam kebangkitan arus Islam yang kuat ini maka lahirlah 'Jamaah Ikhwanul Muslimin' dan beberapa jamaah Islam di seluruh dunia terutamanya di dunia Islam. Imam As-Syahid Hassan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin melalui jalan yang telah dilalui Rasulullah s.a.w. Alangkah banyaknya persamaan di antara marhalah-marhalah dakwah yang dihayati oleh Islam di zaman sekarang dengan marhalah permulaan dakwah Islam di zaman Rasulullah s.a.w.
Islam telah menjadi asing dan jahiliah terus berleluasa. Para pendokong dakwah ditindas, diperkotak-katikkan serta dikepung dari segenap penjuru untuk dihancur leburkan.
Samalah keadaannya dahulu di mana musuh-musuh dakwah Islam dipimpin oleh golongan musyrikin di Semenanjung Tanah Arab, para penyembah api di negara besar seperti Parsi (Iran) di sebelah Timur dan kerajaan raksaksa Romawi di sebelah Barat bersama Yahudi.
Demikian juga halnya musuh-musuh dakwah Islam di hari ini yang dipimpin oleh golongan komunis di sebelah Timur dan golongan Kristian dan Zionism dari negara sebelah Barat yang sekular. Jahiliah moden ini disertai pula oleh boneka-boneka dari kalangan muslimin yang telah diracuni hati dan fikiran mereka oleh jahiliah moden. Malah mereka lebih kejam dan lebih sesat dari jahiliah di zaman permulaan dakwah Islam di zaman Muhammad s.a.w.
Ini semua memberi peringatan kepada kita bahawa muslimin di zaman Rasulullah s.a.w itu sentiasa bertahan dan bersabar sehinggalah Allah menolong mereka, menghina para pendokong syirik, kufurdan jahiliah serta mengalahkan mereka. Lalu berkibar dan berkuasalah kalamullah. Jatuh dan lemahlah kalimah kufur.
Demikianlah yang kita harapkan dan kepadanyalah kita berusaha InsyaAllah. Sesungguhnya kitaakan melihat kebangkitan dakwah Islam setelah ia menurun. Pada masa yang sama, budayamaterialistik dan jahiliah mula menurun setelah naik. Tanda-tanda yang nyata menjelma di dalamkesedaran Islam yang baru, yang mengambil tempat di hati umat Islam seluruhnya, terutamanya dikalangan pemuda-pemudi Islam.
Kebangkitan Islam kembali semula dan arus dakwah Islam menjalar di kalangan generasi baru di kalangan putera-puteri Islam untuk menghayati Islam dengan minat yang sungguh-sungguh dan benar di dalam usaha-usaha Islam, dengan Islam dan untuk Islam.
Tanda-tanda keruntuhan budaya jahiliah yang kafir itu semakin nyata dan terang apabila kita memerhatikan bagaimana gelombang keruntuhan akhlak melanda pemuda-pemuda para pendokong budaya kebendaan yang jahiliah itu.
Ini adalah merupakan berita baik dan menggembirakan di mana peralihan pimpinan manusia akan berlaku. Pimpinan jahiliah yang bertuhankan manusia akan tamat dan pimpinan dunia akan dikembalikan kepada Islam sekali lagi. Daulah Islam sejagat akan bangkit kembali dengan izin AllahTaala yang Maha Kuasa supaya dunia berbahagia dengan agama yang hakiki dan lurus itu.
1.4 Wasilah dan Langkah-langkah:
Wasilah-dan langkah-langkah umum dalam dakwah tidak berubah, tidak bertukar ganti dan tidak melampui tiga perkara ini:-1) Iman yang amiq; (Iman yang mendalam.)2) Takwin daqiq; (Pembentukan yang rapi dan teliti)3) Amal mutawasil; (usaha dan amal yang berterusan).
Dengan wasilah-wasilah inilah, amal dan usaha yang berterusan tetapi beransur-ansur mewujudkan serta membentuk individu, rumahtangga dan masyarakat yang muslim. Dari situ dapatlah disediakan dasar dan asas Islam yang teguh dan kuat untuk menegakkan pemerintahan Islam (daulah Islam) di sebuah negara umat Islam lalu dicantumkan dengan daulah-daulah Islam di seluruh dunia untuk membangunkan daulah Islam sedunia yaitu kekuasaan Islam yang merangkumi seluruh dunia Islam yang bersatu di bawah satu Khilafah Islamiah.
Ia bertanggungjawab untuk memimpin seluruh dunia, menjadi guru dunia dan mengarahkan perjalanannya demi kebahagiaan seluruh manusia dengan ayat-ayat Allah sehingga tiada lagi fitnah dan agama itu seluruhnya hanya untuk Allah.
"Sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka " Al-Baqarah: 193
Sebagaimana berjalannya wasail iman, takwin, pembentukan dan amal usaha itu, berganding bahu antara satu sama lain, begitu jugalah setiap langkah awal dalam penyediaan ke arah pembentukanindividu muslim, pembangunan rumahtangga-rumahtangga Islam dan penyebaran dakwah Islam ditengah-tengah masyarakat manusia, semuanya mestilah berjalan serentak dan berganding bahu.
Melalui jalan dakwah, tidak sah dan tidak benar kalau kita mengambil jalan ringkas lalu kita menghadkan wasilah dan langkah-langkah kita atau kita mengambil sebahagian dengan anggapan bahwa yang sebahagian itu sudah memenuhi tujuan kita dan dapat menyempurnakan tugas kita.
Sesungguhnya tidak ada iman tanpa amal dan pembentukan. Tidak ada masyarakat tanpa anggotayang muslim dan rumahtangga-rumahtangga Islam. Merekalah tiang-tiang yang akan membangunkan pemerintahan Islam.
Kelalaian dalam mengukuhkan dasar dan memancangkan asas-asas yang teguh dan tiang-tiang yang kuat itu merupakan satu tindakan yang membahayakan, yang mungkin membawa kepada keadaan yang terbalik atau songsang. Setiap waktu dan usaha yang dicurahkan untuk meletakkan asas sebuah bangunan tidak boleh dianggap sia-sia dan tidak boleh dihentikan selagi belum nampak sebarang hasil di permukaan bumi, kerana bangunan yang besar memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang gigih untuk menyiapkan asas dan konkritnya.
Adakah di sana sesuatu yang lebih besar dari usaha membangunkan daulah Islam sedunia yang mampu memimpin dunia memandu seluruh manusia kepada nur dan cahaya Islam yang sempurna dan menyempurnakan itu?
Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Imam as-Syahid Hassan Al-Banna tatkala beliau mengarahkan ucapannya kepada golongan yang gopoh, yang cepat ingin memetik buah dakwah sebelum masak;
"Hai Ikhwanul muslimin terutama yang tergesa-gesa dari kamu. Dengarkanlah daripadaku satu kalimahyang tinggi yang berkumandang dari atas mimbar ini di dalam muktamar umum ini. Sesungguhnya jalan kamu ini adalah yang telah digariskan langkah-langkahnya, ditentukan batas-batasnya dan aku tidak mahu melanggar batas-batas itu. Aku telah yakin dengannya. Keyakinan yang sebenar-benarnya, bahawa itulah jalan yang paling selamat untuk mencapai tujuannya.
Ya... boleh jadi ia satu jalan yang panjang, tetapi di sana tidak ada jalan lain selain itu. Sifat kelakiantidak akan lahir kecuali dengan keberanian, ketekunan, kesungguhan dan amal usaha yang serius danberterusan. Barangsiapa dari kalangan kamu yang hendak cepat dan gopoh memetik buah sebelum masak atau hendak memetik hasil sebelum masanya, maka aku tidak bersama dengannya sama sekali dan lebih baik baginya meninggalkan dakwah ini dan carilah dakwah yang lain.
Barangsiapa yang bersabar bersama aku sehingga berkembang dan membesar benih itu lalu tumbuh pokoknya, baik buahnya sehingga tiba waktunya untuk dipetik dan diambil, maka ganjarannya terserahlah kepada Allah semata-mata. Kita dan dia tidak boleh lari dari dua kebaikan ini. Sama ada kita menang dan berkuasa atau mati syahid dan berbahagia".

(Dari Buku Thariqud Dakwah (Jalan Dakwah) oleh Syaikh Mustafa Masyhur)eramuslim.com