Senin, November 24, 2008

Apa yang menyebabkanmu belum berhijab ?

Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Asy Syams: 7-8).


Manusia diciptakan oleh Allah dengan sarana untuk meniti jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Allah memerintahkan agar kita saling berwasiat untuk mentaati kebenaran, saling memberi nasehat di antara kita dan menjadikannya di antara sifat-sifat orang yang terhindar dari kerugian.


Sebagaimana disebutkan dalam surat Al ‘Ashr. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa kewajiban kita terhadap sesama adalah saling menasehati.


Beliau bersabda:
(( المُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ ))


“Orang mukmin adalah cermin bagi orang mukmin lainnya”( [1]) .


Dengan kata lain seorang mukmin bisa menyaksikan dan mengetahui kekurangannya dari mukmin yang lain, sehingga ia laksana cermin bagi dirinya. Tetapi cermin itu tidak memantulkan gambar secara fisik, melainkan memantulkan gambar secara akhlak dan perilaku. Islam juga sebagaimana dalam banyak hadits- menganjurkan dan mengajak pemeluknya agar sebagian mereka mencintai sebagian yang lain.


Di antara pilar utama dari kecintaan ini, hendaknya engkau berharap agar saudaramu masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Tak sebatas berharap, namun engkau harus berupaya keras dan maksimal untuk menyediakan berbagai sarana dan menjauhkan saudaramu dari hal-hal yang membahayakan dan merugikannya, di dunia maupun di akhirat.


Lebih khusus, buku ini kami hadirkan untuk segolongan kaum muslimah yang belum mentaati perintah berhijab ([2]), seperti yang diperintahkan syariat. Baik karena belum mengetahui bahwa hijab adalah wajib, atau karena tidak mampu melawan tipu daya dan pesona dunia, karena takluk di hadapan nafsu yang senantiasa memerintahkan keburukan atau tunduk oleh bisikan setan, karena pengaruh teman yang tidak suka kepada kebaikan bagi sesama jenisnya atau karena alasan-alasan yang lain.


Kami memohon kepada Allah semoga uraian dalam buku sederhana ini menjadi pembuka hati yang terkunci, menggetarkan perasaan yang tertidur, sehingga bisa mengembalikan segenap muslimah yang belum mentaati perintah berhijab kepada fitrah yang telah diperintahkan Allah Ta’ala.


Tidak lupa kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ustadzah Badriyah Al Azzaz atas berbagai koreksiannya yang amat berharga terhadap naskah ini. Semoga Allah memberi taufik, kebenaran dan kesudahan hidup yang baik kepada kita. Amin.

SYUBHAT DAN SYAHWAT

Setan bisa masuk kepada manusia melalui dua pintu utama, yaitu syubhat dan syahwat. Seorang tidak melakukan suatu tindakan maksiat kecuali dari dua pintu tersebut. Dua perkara itu merupakan penghalang sehingga seorang muslim tidak mendapatkan keridhaan Allah, masuk surga dan jauh dari neraka. Di bawah ini akan kita uraikan sebab-sebab utama dari syubhat dan syahwat.

A. SYUBHAT PERTAMA: MENAHAN GEJOLAK SEKSUAL


Syubhat ini menyatakan bahwa gejolak nafsu seksual pada setiap manusia adalah sangat besar dan membahayakan. Ironinya, bahaya ini timbul ketika nafsu tersebut ditahan dan dibelenggu. Jika terus-menerus ditekan, ia bisa mengakibatkan ledakan dahsyat.


Hijab wanita akan meyembunyikan kecantikannya, sehingga para pemuda tetap berada dalam gejolak nafsu seksual yang tertahan, dan hampir meledak, bahkan terkadang tak tertahankan sehingga ia lampiaskan dalam bentuk tindak perkosaan atau pelecehan seksual lainnya.

Sebagai pemecahan masalah tersebut, satu-satunya cara adalah membebaskan wanita dari mengenakan hijab, agar para pemuda mendapatkan sedikit nafas bagi pelampiasan nafsu mereka yang senantiasa bergejolak di dalam. Dengan demikian, hasrat mereka sedikit bisa terpenuhi. Suasana itu lalu akan mengurangi bahaya ledakan gejolak nafsu yang sebelumnya tertahan dan tertekan.

1. BANTAHAN:


Sepintas, syubhat di atas secara lahiriah nampak logis dan argumentatif. Kelihatannya, sejak awal, pihak yang melemparkan jalan pemecahan tersebut ingin mencari kemaslahatan bagi masyarakat dan menghindarkan mereka dari kehancuran. Padahal kenyataannya, mereka justru menyebabkan bahaya yang jauh lebih besar bagi masyarakat, yaitu menyebabkan tercerai-berainya masyarakat, kehancurannya, bahkan berputar sampai seratus delapan puluh derajat kepada kebinasaan.


Seandainya jalan pemecahan yang mereka ajukan itu benar, tentu Amerika dan negara-negara Eropa serta negara-negara yang berkiblat kepada mereka akan menjadi negara yang paling kecil kasus perkosaan dan kekerasannya terhadap kaum wanita di dunia, juga dalam kasus –kasus kejahatan yang lain.


Amerika dan negara-negara Eropa amat memperhatikan masalah ini, dengan alasan kebebasan individual. Di sana, dengan mudah anda akan mendapatkan berbagai majalah porno dijual di sembarang tempat. Acara-acara televisi, khususnya setelah pukul dua belas malam, menayangkan berbagai adegan tak senonoh, yang membangkitkan hasrat seksual.


Bila musim panas tiba, banyak wanita di sana yang membuka pakaiannya dan hanya mengenakan pakaian bikini. Dengan keadaan seperti itu, mereka berjemur di pinggir pantai atau kota-kota pesisir lainnya. Bahkan di sebagian besar pantai dan pesisir, mereka boleh bertelanjang dada dan hanya memakai penutup ala kadarnya. Terminal-terminal video rental bertebaran di seluruh pelosok Amerika dengan semboyan “Adults only” (khusus untuk orang dewasa). Di terminal-terminal ini, anak-anak cepat tumbuh matang dalam hal seksual sebelum waktunya. Siapa saja dengan mudah bisa menyewa kaset-kaset video lalu memutarnya di rumah atau langsung menontonnya di tempat penyewaan.


Rumah-rumah bordil bertaburan dimana-mana. Bahkan di sebagian negara memajang para wanita tuna susila (pelacur) di etalase sehingga bisa dilihat oleh peminatnya dari luar.


Apakah kesudahan dari gaya hidup yang serba boleh (permisif) itu? Apakah kasus perkosaan semakin bekurang? Apakah kepuasan mereka terpenuhi, sebagaimana yang ramai mereka bicarakan? apakah para wanita terpelihara dari bahaya besar ini?.

2. DATA STATISTIK AMERIKA


Dalam sebuah buku berjudul “Crime in U.S.A” terbitan pemerintah federal di Amerika – yang berarti data statistiknya bisa dipertanggung-jawabkan karena ia dikeluarkan oleh pihak pemerintah, tidak oleh paguyuban sensus- di halaman 6 dari buku ini ditulis: “setiap kasus perkosaan yang ada selalu dilakukan dengan cara kekerasan dan itu terjadi di Amerika setiap enam menit sekali”. Data ini adalah yang terjadi pada tahun 1988, yang dimaksud dengan kekerasan di sini adalah dengan menggunakan senjata tajam.


Dalam buku yang sama juga disebutkan:
Pada tahun 1978 di Amerika terjadi sebanyak 147.389 perkosaan.
Pada tahun 1979 di Amerika terjadi sebanyak 168.134 perkosaan.
Pada tahun 1981 di Amerika terjadi sebanyak 189.045 perkosaan.
Pada tahun 1983 di Amerika terjadi sebanyak 311.691 perkosaan.
Pada tahun 1987 di Amerika terjadi sebanyak 221.764 perkosaan.

3. TAFSIR EMPIRIS AYAT AL-QUR’AN.


Data stastik ini, juga data-data sejenis lainnya - yang dinukil dari sumber-sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan- menunjukkan semakin melonjaknya tingkat pelecehan seksual di negara-negara tersebut. Tidak lain, kenyataan ini merupakan penafsiran empiris (secara nyata dan dalam praktek kehidupan sehari-hari) dari firman Allah:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." (QS. Al Ahzab: 59).


Sebab turunnya ayat – sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya- karena para wanita biasa melakukan buang besar di padang terbuka sebelum dikenalnya kakus (tempat buang air khusus dan tertutup). Di antara mereka itu dapat dibedakan antara budak dengan wanita merdeka. Perbedaan itu bisa dikenali yakni kalau wanita-wanita merdeka mereka menggunakan hijab. Dengan begitu para pemuda enggan mengganggunya.


Sebelum turunnya ayat ini, wanita-wanita muslimah juga melakukan buang hajat di padang terbuka tersebut. Sebagian orang-orang durjana mengira kalau dia adalah budak, ketika diganggu, wanita muslimah itu berteriak sehingga laki-laki itu pun kabur. Kemudian mereka mengadukan peristiwa tersebut kapada Nabi r sehingga turunlah ayat ini ([3]).


Hal ini menegaskan, wanita yang memamerkan auratnya, dan mempertontonkan kecantikannya dan kemolekan tubuhnya kepada setiap orang yang lalu-lalang, lebih berpotensi untuk diganggu. Sebab dengan begitu, ia telah membangkitkan nafsu seksual yang terpendam.


Adapun wanita yang berhijab maka dia senantiasa menyembunyikan kecantikan dan perhiasannya. Tidak ada yang kelihatan dari padanya selain telapak tangan dan wajah menurut suatu pendapat. Dan pendapat lain mengatakan, tidak boleh terlihat dari pada wanita tersebut selain matanya saja.


Syahwat apa yang bisa dibangkitkan oleh wanita berhijab itu? Instink seksual apa yang bisa digerakkan oleh seorang wanita yang menutup rapat seluruh tubuhnya itu?


Allah mensyariatkan hijab agar menjadi benteng bagi wanita dari gangguan orang lain. Sebab Allah Ta’ala mengetahui bahwa pamer aurat akan mengakibatkan semakin bertambahnya kasus pelecehan seksual, sebab perbuatan tersebut membangkitkan nafsu seksual yang sebelumnya tenang.


Kepada mereka yang masih mempertahankan dan meyakini kebenaran syubhat tersebut, kita bisa menyanggah kesalahan mereka melalui empat hakikat;


Pertama: berbagai data statistik telah mendustakan cara pemecahan yang mereka tawarkan.


Kedua: Hasrat seksual terdapat pada masing-masing pria dan wanita. Ini merupakan rahasia Ilahi yang dititipkan Allah kepada keduanya untuk hikmah yang amat banyak. Di antaranya adalah demi kelangsungan keturunan, jika boleh berandai-andai, andaikata hasrat seksual itu tidak ada, apakah keturunan manusia masih bisa dipertahankan? Tidak seorangpun memungkiri keberadaan hasrat dan naluri ini. Tetapi dengan tidak mempertimbangkan adanya naluri seksual tersebut tiba-tiba sebagian laki-laki diminta berlaku wajar di tengah pemandangan yang serba terbuka dan telanjang. Amat ironi memang.


Ketiga: Bahwa yang membangkitkan nafsu seksual laki-laki adalah tatkala ia melihat kecantikan wanita, baik wajah atau anggota tubuh lain yang mengundang syahwat. Seseorang tidak mungkin melawan fitrah yang diciptakan Allah (kecuali mereka yang dirahmati Allah) sehingga bisa memadamkan gejolak syahwatnya tatkala melihat sesuatu yang membangkitkannya.


Keempat: Orang yang mengaku bisa mendiagnosa nafsu seksual yang tertekan dengan mengumbar pandangan mata kepada wanita cantik dan telanjang sehingga nafsunya akan terpuaskan (dan dengan demikian tidak menjurus kepada perbuatan yang lebih jauh, misalnya; pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya) maka yang ada hanya ada dua kemungkinan:



  • Pertama: Orang itu adalah laki-laki yang tidak bisa terbangkitkan nafsu seksualnya meski oleh godaan syahwat yang bagaimanapun (bentuk dan jenisnya) ia termasuk kelompok orang yang dikebiri kelaminnya sehingga dengan cara apapun mereka tidak akan merasakan keberadaan nafsunya.


  • Kedua: Laki-laki yang lemah syahwat atau impoten. Aurat yang dipamerkan itu tak akan mempengaruhi dirinya.
    Apakah orang yang membenarkan syubhat tersebut (sehingga dijadikannya jalan pemecahan) hendak memasukkan kaum laki-laki dari umat kita ke dalam salah satu dari dua golongan manusia lemah di atas (Na'udzubillah min dzalik).

SYUBHAT KEDUA: BELUM MANTAP


Hal ini lebih tepat digolongkan kepada syahwat dan menuruti hawa nafsu dari pada syubhat. Jika seorang muslimah yang belum mentaati perintah berhijab ditanya, mengapa ia tidak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab,“Demi Allah, saya belum mantap dengan berhijab. Jika saya telah merasa mantap dengannya saya akan berhijab, Insya Allah”.


Ukhti yang berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia.


Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka manusia bisa salah, bisa benar. Imam Malik berkata:“ dan setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam kuburan ini”. Yang dimaksudkan adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.


Selagi masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerima. Karenanya, dalam hal ini, setiap orang bisa berucap,“belum mantap” dan ia tidak dihukum karenanya.


Adapun jika perintah itu merupakan salah satu dari perintah-perintah Allah, dengan kata lain Allah yang memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal tersebut melalui Nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada tempat bagi manusia untuk mengatakan, “saya belum mantap”.


Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan padahal ia sendiri tahu bahwa perintah tersebut ada di dalam kitab Allah Ta’ala maka hal tersebut berpotensi untuk menyeretnya kepada bahaya yang lebih sangat besar, yakni keluar dari agama Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab dengan begitu berarti ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut, maka itu adalah ungkapan yang sangat berbahaya.


Seandainya ia berkata: “Aku wanita kotor” aku tak kuat melawan nafsuku,” “jiwaku rapuh” Atau hasratku untuk itu sangat lemah” tentu ungkapan-ungkapan ini dan yang sejenisnya tidak bisa disejajarkan dengan ucapan: “Aku belum mantap” sebab ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pengakuan atas kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan dirinya, ia tidak menghukumi dengan salah atau benar terhadap perintah –perintah Allah secara semaunya. Juga tidak termasuk yang mengambil perintah Allah dan mencampakkan yang lain.


Allah Y berfirman:


“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, kesesatan yang nyata.” (QS.Al Ahzab: 36).


1. Sikap yang dituntut.


Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya Allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui dalam penetapan hukum dari padanya -sementara dia sangat miskin dan sangat lemah– maka jika telah datang perintah Allah tidak ada lagi pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang mukmin atau mukminah, mereka wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang beriman.


“Kami dengar dan kami taat (mereka berdo’a) Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Baqarah: 285).


Ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita, dan salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan kita. Demikian pula halnya dengan ketika memerintah wanita berhijab, Dia Maha Mengetahui bahwa ia adalah salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.


Allah Ta’ala Maha Mengetahui Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, mengetahui sejak sebelum manusia diciptakan, juga mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan tanpa batas, mengetahui apa yang tidak akan terjadi dari berbagai peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa tersebut terjadi apa yang terjadi selanjutnya.


Dengan kepercayaan seperti ini, yang merupakan keyakinan kita umat Islam, apakah patut dan masuk akal kita menolak perintah Allah yang Maha Luas Ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima perkataan manusia yang memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas.

2. Contoh dari kenyataan sehari-hari.


Sebagai contoh, dapat kita kemukakan dari kenyataan hidup sehari-hari. Bila kita membeli unit komputer sementara orang yang membuatnya ada di dekat kita, dia tahu betul bagaimana mengoperasikannya, memahami dari A sampai Z seluk-beluk alat canggih tersebut, maka logiskah jika kita memanggil tukang cuci mobil untuk mengajari kita cara mengoperasikan komputer? Tentu sangat tidak logis. Akal kita akan mengatakan, bahwa kita mesti memanggil ahli komputer untuk mengajari bagaimana cara penggunaan alat tersebut, berikut cara memperbaikinya jika terjadi kerusakan.


Kita meyakini, yang menciptakan manusia dan membentuknya adalah Tuhan manusia, yaitu Allah. Karena itu sangat wajar, jika Allah yang sangat lebih mengetahui tentang apa yang membahayakan dan memberi manfaat manusia. Dan jelaslah, bertahkim, patuh, dan menyerah kepada selain Allah adalah cermin ketidak-warasan, kebodohan, dan kedunguan. Kandungan ini disebabkan karena kita patuh kepada seseorang yang tidak mengetahui. Barangsiapa yang mengambil nasihat orang bodoh berarti dia menggelincirkan dirinya dalam kebinasaan.
Ironinya, inilah yang terjadi pada kita kaum muslimin, betapa banyak kaum muslimin yang menuntut jawaban dari orang yang tidak mengetahuinya. Sebagaimana betapa banyak dari kalangan kita yang tidak memahami bahwa yang dimaksud kata “Islam” adalah menyerah, patuh dan tunduk secara total kepada perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya.

3. Ukhti, jangan terjerumus pada pertentangan.


Tatkala engkau menasehati sebagian ukhti yang belum berhijab, sebagian mereka ada yang menjawab: “saya juga seorang muslimah, selalu menjaga shalat lima waktu dan sebagian shalat sunnah, saya puasa Ramadhan dan telah melakukan haji, berkali-kali pula saya umrah, aktif sebagai donatur pada beberapa yayasan sosial, tetapi saya belum mantap dengan berhijab”.


4. Pertanyaan buat Ukhti:


“Kalau memang anda sudah dan selalu melakukan amalan-amalan terpuji, yang berpangkal dari iman, kepatuhan pada perintah Allah serta takut siksa-Nya jika meninggalkan kewajiban-kewajiban itu, mengapa anda beriman kepada sebagian dan tidak beriman kepada sebagian yang lain, padahal sumber perintah-perintah itu adalah satu ?


Sebagaimana shalat yang selalu anda jaga adalah suatu kewajiban, demikian juga halnya dengan hijab. Hijab itu wajib, dan kewajiban itu tidak diragukan adanya dalam Al Kitab dan Sunnah. Atau apakah, anda tidak pernah mendengar cercaan Allah terhadap Bani Israil, karena mereka melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian yang lain?


Secara tegas, dalam hal ini Allah berfirman


"Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Tidakkah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat pedih, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85).


Selanjutnya, renungkan hadits shahih berikut ini:
(( إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ تُوْضَعُ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلِي المِرْجَلُ بِالْقَمْقَمِ ))
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat adalah orang yang diletakkan di tengah kedua telapak kakinya dua bara api, dari dua bara api ini otaknya mendidih, sebagaimana periuk yang mendidih dalam bejana besar yang dipanggang dalam kobaran api.


Jika seperti ini adzab yang paling ringan pada hari kiamat, lalu bagaimana adzab bagi orang yang diancam oleh Allah dengan adzab yang amat pedih, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Yakni bagi orang yang beriman kepada sebagian ayat dan meninggalkan sebagian yang lain?

5. Wahai Ukhti …:


Apakah hanya demi penampilan, kabanggaan dan saling unggul-mengungguli di dunia, lalu anda rela menjual akhirat dan siap menerima adzab yang pedih?


Sungguh kami tidak berharap untuk ukhti, melainkan kebaikan di dunia dan akhirat. Kami minta agar ukhti, mau menggunakan akal sehat dan menentukan pilihan ini.

C. SYUBHAT KETIGA: IMAN ITU LETAKNYA DI HATI


Jika seorang di antara mereka ditanya, mengapa dia tidak berhijab? Maka ukhti yang terhormat ini akan menjawab: “ Ah, iman itu letaknya di hati”.


Ini adalah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh para wanita muslimah yang belum berhijab. Karena itu di bawah ini akan kita bahas syubhat tersebut


1. Sumber syubhat.


Mereka berusaha menafsirkan sebagian hadist, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:


(( إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ))


“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.” (HR. Muslim No: 2564 dari Abu Hurairah).


Pengarang kitab "Nuzhatul Muttaqin" berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa pahala amal tergantung pada keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati pelempangan tujuan dan kebersihan hati dari segala sifat tercela yang dimurkai Allah ([4]).

2. Definisi Iman:


Iman tidak cukup hanya dalam hati. Iman dalam hati semata tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari neraka dan mendapatkan surga.


Definisi iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: “Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan”. Definisi ini terdapat dalam setiap buku aqidah (tauhid) kecuali buku-buku yang menyimpang dan tidak berdasarkan manhaj (methode) Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

3. Kesempurnaan Iman


Dalam Tashawwur (gambaran) kita, orang yang mengatakan iman dengan lidahnya, tetapi tidak disertai dengan keyakinan hatinya, itu adalah keadaan orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sebatas aktivitas tubuh anggota badan, tetapi tidak disertai keyakinan hati, itu merupakan keadaan orang-orang munafik.


Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka senantiasa shalat bersama beliau, berperang, mengeluarkan nafkah, pulang pergi bersama kaum muslimin, tetapi hati mereka tidak pernah beriman kepada agama Allah. Kepada mereka, Allah menghukumi sebagai orang-orang munafik, dan balasan untuk mereka adalah berada di kerak neraka (dasar neraka).


Demikian pula orang yang beriman hanya dengan hatinya tapi tidak disertai amalan anggota badan. Ini adalah keadaan Iblis. Dia percaya pada kekuasaan Allah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan, dia juga percaya terhadap adanya hari kiamat, tetapi dia tidak beramal dengan anggota tubuhnya. Allah berfirman: “Ia (Iblis) enggan dan takabbur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 34).


Dalam AL Qur’an: setiap kali disebutkan kata iman, selalu disertai dengan amal, seperti:


“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh …”
Amal selalu beriringan dan merupakan konsekwensi iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.


Kepada ukhti yang belum berhijab dengan alasan: "Iman itu letaknya dalam hati” kami hendak bertanya: “Andaikata seorang kepala sekolah memintanya membuat laporan, atau mengawasi murid-murid, atau memberi pelajaran ekstra kurikuler, atau menjadi petugas piket untuk menjadi guru yang berhalangan hadir atau pekerjaan lain, logiskah jika ia menjawab: “Dalam hati, saya percaya, dan belum mantap terhadap apa yang diminta oleh direktur kepadaku, tetapi aku tidak mau melaksanakan yang dikehendakinya dariku” Apakah jawaban ini bisa diterima? Lalu apa akibat yang bakal menimpanya?


Ini sekedar contoh dalam kehidupan manusia, lalu bagaimana jika urusan itu berhubungan dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat yang Maha Tinggi?

D. SYUBHAT KEEMPAT: ALLAH BELUM MEMBERIKU HIDAYAH.


Pada akhawat yang tidak berhijab banyak yang berdalih: "Allah belum memberiku hidayah. Sebenarnya aku juga ingin berhijab, tetapi hendak bagaimana jika saat ini Allah belum memberiku hidayah? Do’akanlah aku agar segera mendapat hidayah!”


Ukhti yang berdalih seperti ini telah terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Kami ingin bertanya: “bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu hidayah?
Jika jawabannya, “Aku tahu”, maka ada satu dari dua kemungkinan:




  • Pertama: Dia mengetahui ilmu ghaib yang ada di dalam kitab yang tersembunyi (lauhul mahfudz). Dia pasti pula tahu bahwa dirinya termasuk orang-orang yang celaka dan bakal masuk neraka.


  • Kedua: Ada makhluk lain yang mengabarkan kepadanya tentang nasib dirinya, bahwa dia tidak termasuk wanita yang mendapatkan hidayah. Bisa jadi yang memberi tahu itu malaikat ataupun manusia.

Jika kedua jawaban itu tidak mungkin adanya, bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu hidayah? Ini satu masalah.


Masalah lain adalah, Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya, bahwa hidayah itu ada dua macam. Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidayah taufiq.

1. HIDAYAH DILALAH


Ini adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat campur tangan dan usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Allah telah menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia yang mukallaf, juga dia telah menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para rasul dan Kitab-Nya. Para rasulpun telah menerangkan jalan ini kepada kaumnya. Begitu pula para da’i. Mereka semua menerangkan jalan ini kepada manusia. Jadi semua ikut ambil bagian dalam hidayah ini.

2. HIDAYAH TAUFIQ


Hidayah ini hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya (dalam pemberi hidayah taufiq ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari penyimpangan pertolongan agar tetap meniti dan teguh di jalan kebenaran, pendorong kepada kecintaan iman. Pendorong kepada kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.


Hidayah taufiq diberikan kepada orang yang memenuhi panggilan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya.


Jenis hidayah ini datang sesudah hidayah dilalah. Sejak awal, dengan tidak pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran kepada semua manusia. Allah berfirman:


“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.” (QS. Fushishilat: 17).


Dan untuk itu, Allah menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk memilih antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran menurut kemauannya sendiri maka hidayah taufiq akan datang kepadanya. Allah berfirman:


“Dan orang-orang yang melakukan petunjuk, Allah (akan) menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17).


Jika dia memilih kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan kesesatan kepadanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq, Allah berfirman:


“Katakanlah: barangsiapa yang berada dalam kesesatan, maka biarlah Dzat yang Maha Pemurah menambahi baginya (kesesatan).” (QS. Maryam: 75).


“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shaf: 5).

3. PERUMPAMAAN HIDAYAH TAUFIQ:


Syaikh Asy Sya’rawi memberikan perumpamaan yang amat mengena tentang hidayah taufiq ini, dan itu merupakan sunnatullah. Beliau mengumpamakan dengan seseorang yang menanyakan suatu alamat. Orang itu pergi ke polisi lalu-lintas untuk menanyakan alamat tersebut. Lalu polisi menyarankan: “anda bisa berjalan lurus sepanjang jalan ini, sampai di perempatan anda belok ke kanan, selanjutnya ada gang, anda belok ke kiri, di situ anda mendapatkan jalan raya. Di seberang jalan raya tersebut akan terlihat gedung dengan pamplet besar, itulah alamat yang anda cari”.


Orang tersebut dihadapkan pada dua pilihan, percaya kepada petunjuk polisi atau mendustakannya. Jika percaya kepada polisi, ia akan segera beranjak mengikuti petunjuk yang diterimanya. Jika berjalan terus sesuai dengan petunjuk polisi, ia akan semakin dekat dengan tempat dan alamat yang ia inginkan.


Jika dia tidak memepercayai saran polisi itu bahkan malah mengumpatnya sebagai pendusta, sehingga ia berjalan menuju arah yang berlawanan, maka semakin jauh dia berjalan, semakin jauh pula kesesatannya. Itulah perumpamaan petunjuk dan kesesatan ([5]).


Ini merupakan perumpamaan yang tepat untuk mendekatkan pengertian sunnatullah ini. Siapa yang memilih kebenaran, maka Allah akan menolong dan meneguhkannya, dan siapa yang memilih kebatilan, Allah akan menyesatkannya dan membiarkannya bersama setan yang menyertainya.

4. CARILAH SEBAB-SEBAB HIDAYAH, NISCAYA ANDA MENDAPATKANNYA.


Itulah sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Allah berfirman:


“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah.” (QS. Al Fathir: 43).


Adapun sunnatullah dalam perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia memulai dengan mengubah terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu mengupayakan sebab-sebab perubahan yang dimaksudnya. Allah berfirman:


“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’ad: 11).


Maka orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo’akan dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa menghantarkannya mendapat hidayah tersebut.


Dalam hal ini, terdapat teladan yang baik pada diri Maryam, suatu hari, dia amat membutuhkan makanan. Padahal ketika itu, ia dalam kondisi yang sangat lemah seperti yang biasa terjadi pada wanita yang hendak melahirkan. Lalu Allah memerintahkannya untuk melakukan suatu usaha yang orang laki-laki paling kuat sekalipun tidak akan mampu melakukannya. Maryam diminta untuk menggoyang-nggoyangkan pangkal pohon korma, meskipun pangkal pohon korma itu sangat kokoh dan sulit untuk digoyang-goyangkan. Allah berfirman:


“Dan goyanglah pangkal pohon korma itu." (QS. Maryam: 25).


Maryam tidak mungkin mampu menggoyang pangkal pohon korma, sementara dia dalam kondisi yang amat lemah. Itu hanya dimaksudkan sebagai usaha mencari sebab dengan cara meletakkan tangannya di pohon korma. Dengan begitu terpenuhilah hukum kausalitas dan sunnatullah dalam hal perubahan. Maka hasilnya adalah:


“Pohon itu akan menggugurkan buah korma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25).


Inilah sunnatullah dalam perubahan. Tidak mungkin orang mukmin terus-menerus di dalam masjid, bahkan meskipun di Masjidil Haram dengan hanya duduk dan beribadah kepada Allah, seraya mengharap rizki dari Allah. Tentu Allah tidak akan mengabulkannya tanpa dia sendiri mencari sebab-sebab rezki tersebut. Langit tak mungkin sekonyong-konyong menurunkan hujan emas dan perak.


Karena itu, wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah. Di antara usaha itu adalah berdo’a agar mendapatkan hidayah, memilih teman yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan kitab Allah, mengikuti majlis-majlis dzikir dan ceramah agama, membaca buku-buku tentang keimanan dan sebagainya.


Tetapi, sebelum melakukan semua itu, hendaknya terlebih dahulu engkau meninggalkan hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman yang tidak baik, membaca majalah-majalah yang tidak mendidik, menyaksikan tayangan-tayangan televisi yang membangkitkan perbuatan haram, bepergian tanpa disertai mahram, menjalin hubungan dengan para pemuda (pacaran), dan hal-hal lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.

E. SYUBHAT KELIMA: TAKUT TIDAK LAKU NIKAH


Sebagian akhawat yang tidak berhijab berdalih dengan takut tidak laku nikah.


Syubhat yang dibisikkan setan kepada sebagian akhawat yang tidak berhijab ini, pangkalnya adalah perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan menikah kecuali jika ia telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan, dan perhiasan sang gadis. Jika ia berhijab atau memakai cadar, tentu tak ada yang bisa dilihat pada dirinya, sehingga sang pemuda enggan mengambil keputusan untuk menikahinya.


Ironinya, kepercayaan ini, tidak hanya dimonopoli para akhawat, tetapi juga merupakan kepercayaan para orang tua, pada akhirnya, mereka melarang anak-anak putrinya memakai hijab. Syubhat ini tidak bisa diterima lewat dua alasan mendasar:

1. Penilaian dari sisi teori dasar.


Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita. Rasulullah r bersabda:


(( تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا, وَلِحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ))


“Wanita dinikahi itu karena empat hal: Yaitu karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang berpegang teguh dengan agama (jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu ([6]).”


Memang demikian yang terjadi, kaum laki-laki tidak hanya melihat unsur kecantikan semata, tetapi ada hal-hal lain yang menyatu dengan kecantikan itu atau terlepas darinya, yang dijadikan pertimbangan dalam memilih istri. Namun para gadis dan orang tua banyak yang menganggap kecantikan adalah segala-galanya. Atau setidak-tidaknya menjadikan kecantikan sebagai unsur yang terpenting, sedangkan hal lainnya bisa dikesampingkan. Jelas, jalan pikiran seperti ini bertentangan dengan naluri manusia.


2. Penilaian dari sisi empiris:


Bisa jadi sikap gadis-gadis yang biasa memperlihatkan aurat (yang dimaksudkan untuk menawan hati pria) menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Betapa banyak tindakan itu malah membuat para pemuda enggan menikahinya. Sebab bisa saja pemuda itu beranggapan, bahwa jika wanita tersebut berani melanggar salah satu perintah Allah, yaitu hijab, tidak menutup kemungkinan dia akan berani melanggar perintah-perantah yang lain. Karena setan memiliki banyak kiat.


Meskipun terkadang kenyataan yang ada tidak selalu sesuai dengan pendapat ini, tetapi memang begitulah keadaan mayoritas pemuda kita di zaman sekarang. Pemuda yang menyunting gadis berhijab, namanya akan menjadi harum, meskipun dia sendiri tidak termasuk orang-orang yang taat menjalankan perintah agama.

f. SYUBHAT KEENAM: IA MASIH BELUM DEWASA


Syubhat ini banyak beredar dikalangan orang tua serta sebagian akhawat yang tidak berhijab. Sebenarnya anak-anak tersebut sudah memiliki niat untuk memakai hijab, tetapi kemudian ditunda karena syubhat ini. Karena itu dalih ini lebih pantas disebut hawa nafsu dari pada syubhat.


Kebanyakan mereka berkata: jangan sampai melarangnya menikmati kehidupan. Dia toh masih belum dewasa. Dia masih senang memakai pakaian yang indah, bersolek dengan berbagai macam make up serta masih suka menampakkan kecantikannya. Semua itu membuatnya lebih berbahagia dan menikamati hidup.


Kenapa kita melarang dan menghalangi kebahagiaan justru pada saat umur mereka masih relatif sangat muda? Kalau kita terlanjur ketinggalan kereta, mengapa kita membuatnya pula ketinggalan kereta dengan begitu tergesa-gesa? (Maksudnya jika ia menyuruh anak putrinya memakai hijab sejak dini).


Menurut pendapat mereka, masa belum dewasa berlangsung hingga anak berumur dua puluh tahun. Karenanya, meskipun ada gadis yang sudah datang bulan pada umur tiga belas tahun, dia masih dianggap anak-anak.

1. Nasihat untuk para wali:


Sesungguhnya para wali baik bapak atau ibu yang mencegah anak putrinya berhijab, dengan dalih karena masih belum dewasa, mereka memiliki tanggung-jawab yang besar di hadapan Allah pada hari kiamat.


Ketika seorang gadis mendapatkan haidh, seketika itu pula ia wajib berhijab, menurut syariat. Jika wali gadis itu melarangnya berhijab, maka dia mendapat dosa yang besar, dan Allah akan menanyakan hal itu pada hari kiamat. Allah berfirman:


“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. Ash Shaaffaat: 24).


Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ))
“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” ([7]).


Seorang ayah adalah pemimpin pertama dalam rumah tangga, pada hari kiamat dia akan ditanya tentang masing-masing orang yang ada di bawah kepemimpinannya.


Setiap ayah hendaknya bertanya kepada diri mereka sendiri: “betapa banyak para pemuda yang tergoda oleh anak putrinya? Seberapa jauh putrinya menyebabkan penyimpangan para pemuda?

2. Ungkapan cinta untuk anak-anak putri


Allah sebagai saksi, betapa kami amat mengkhawatirkan dirimu akan mendapat siksa Allah. Kami begitu ingin menyelamatkanmu dari segala bahaya yang akan menimpamu, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah kewajiban seorang muslim kepada saudaranya muslim yang lain.
Di antara bahaya yang akan menimpa ukhti yang tidak berhijab, baik di dunia maupun di akhirat, adalah seperti disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:


(( سَيَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ رِجَالٌ يَرْكَبُوْنَ عَلَى السُّرُوْجِ كَأَشْبَاهِ الرِّجَالِ يَنْـزِلُوْنَ عَلَى أَبْوَابِ المَسَاجِدِ نِسَائُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ عَلَى رُؤُوْسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ العِجَافِ اِلْعَنُوْهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُوْنَاتٌ ))


“Akan ada di akhir umatku, kaum laki yang menunggang pelana (seperti layaknya kaum lelaki) mereka turun di depan pintu-pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, di atas kepala mereka (terdapat) sesuatu seperti punuk onta yang lemah gemulai.Laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita terlaknat” ([8]) .


Wahai ukhti yang tidak berhijab! Tahukah engkau makna laknat? Laknat artinya dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala.


Dalam hadits tadi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim, agar melaknat tipe wanita seperti yang telah disebutkan. Yaitu mereka yang mengenakan pakaian di tubuh mereka tapi tidak sampai menutup auratnya, sehingga seakan–akan mereka telanjang. Dalam hadits lain Rasulullah r bersabda:


(( صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ عَارِيَاتٌ مُمٍيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ المَائِلَةِ لاَ يَدْخُلُوْنَ اْلجَنَّةَ وَلاَ يَجِدُوْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَتُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا ))

“ Dua kelompok termasuk penghuni neraka, aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia, dan para wanita yang berpakaian (tetapi) telanjang, bergoyang-goyang dan berlenggak- lenggok, kepala mereka (ada sesuatu) seperti punuk onta yang bergoyang-goyang. Mereka tentu tidak masuk surga, bahkan tidak mendapatkan baunya, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian”. (HR Muslim, No: 2128).


Dalam hadits tersebut terdapat sifat-sifat secara rinci tetang golongan wanita ini, yaitu:


1. Mengenakan sebagian pakaian, tetapi dia menyerupai orang telanjang, karena sebagian tubuh mereka terbuka dan itu mudah membangkitkan birahi laki-laki, seperti paha, lengan, rambut, dada, dan lain-lainnya. Juga pakaian yang tembus pandang atau yang amat ketat, sehingga membentuk lekuk–lekuk tubuhnya, maka ia seperti telanjang, meski berpakaian.


2. Jalannya lenggak-lenggok dan bergoyang sehingga membangkitkan nafsu birahi.



3. Kepalanya tampak lebih tinggi, karena ia membuat seni hiasan dari bulu atau rambut sintesis, karena tingginya ia seperti punuk onta.


Hadits tersebut juga menjelaskan hakikat golongan wanita yang tidak masuk surga, bahkan sekedar mencium bau wanginyapun tidak, padahal rahmat Allah meliputi segenap langit dan bumi. Belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kaum muslimin agar melaknat mereka: “laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka adalah wanita terkutuk”.


Kami tidak menginginkan, selain kebaikan bagi anda. Kekhawatiran bagi diri anda, mendorong kami berharap dari lubuk hati kami yang paling dalam, untuk menjauhkan anda dari segala yang tidak disenangi. Semoga Allah mengisi hati anda dengan cahaya-Nya yang tidak pernah padam, lalu anda menang dalam pertarungan melawan setan jin dan manusia, selanjutnya anda berketepatan melepaskan jeratan dan memerdekakan diri dari tawanan hawa nafsu, menuju alam kebebasan, kemuliaan, kehormatan, ketenangan dan alam kesucian.

3. Apakah anda menjamin umur masih panjang?


Wahai ukhti yang tidak berhijab! Engkau tidak mau berhijab dengan dalih masih belum dewasa, apakah engkau dapat menjamin umurmu masih beberapa saat? Apakah engkau tahu, atau seseorang mengabarkan kepadamu tentang kapan engkau bakal mati?


Jika tidak, maka boleh jadi kematian akan menjemputmu setelah setahun, sebulan, seminggu, sehari, sejam, atau sedetik kemudian. Semua itu serba mungkin, selama kita tidak tahu ajal kita akan datang.


Wahai ukhti, kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sakit, tidak pula orang yang lanjut usia saja, tetapi juga orang-orang yang sehat wal'afiat, orang dewasa, pemuda, bahkan bayi yang masih menetek di pangkuan ibunya, banyak contoh yang tidak bisa dipaparkan.

G. KISAH-KISAH NYATA


1. Kematian yang tiba-tiba:


Seorang anggota parlemen dalam kondisi kesehatan yang prima, penuh energik dan memiliki etos kerja sangat tinggi, orangnya masih muda. Namun, tiba-tiba virus ganas menyerang otaknya. Tak berlangsung lama, virus tersebut berubah menjadi segumpal daging. Anggota parlemen itu akhirnya tidak berdaya dan meninggal dengan cara yang amat mengenaskan.

2. Kematian tak kenal orang sehat atau sakit:


Seorang komandan tinggi dijajaran angkatan bersenjata, ia tidak pernah mengeluhkan suatu penyakit apapun, tubuhnya padat berisi, otot-ototnya kekar, lincah dan gesit dalam melakukan tugas di teritorialnya. Seperti biasa, pada suatu malam, ia pergi tidur. Di pagi hari, sang ibu membangunkannya. Tak ada jawaban. Apa yang terjadi? Ternyata tubuhnya telah dingin dan terbujur kaku. Tidur itu menghantarkan pada kematian yang tak akan kembali lagi.

3. Temanku mati terbakar


Abu Abdillah berkata: “Aku tak tahu, bagaimana harus menuturkan kisah ini padamu. Kisah yang pernah aku alami sendiri beberapa tahun yang lalu, sehingga mengubah total perjalanan hidupku, sebenarnya aku tak ingin menceritakannya, tapi demi tanggung-jawab di hadapan Allah, dan peringatan bagi para pemuda yang mendurhakai Allah dan demi pelajaran bagi para gadis yang mengejar bayangan semu, yang disebut cinta, maka aku ungkapkan kisah ini.


Ketika itu, kami tiga sekawan. Yang mengumpulkan kami adalah kesamaan nafsu dan kesia-siaan. Oh tidak, kami berempat satunya lagi adalah setan.


Kami berburu gadis-gadis. Mereka kami rayu dengan kata-kata manis, hingga mereka takluk, lalu kami bawa ke sebuah taman kecil terpencil. Di sana kami berubah menjadi serigala-serigala yang tak menaruh belas kasihan mendengar rintihan permohonan mereka, hati dan perasaan kami sudah mati.


Begitulah hari-hari kami di taman, di tenda atau dalam mobil yang di parkir di pinggir pantai. Sampai suatu hari, yang tak pernah saya bisa melupakannya, seperti biasa kami pergi ke taman. Seperti biasa pula, masing-masing kami menyantap satu mangsa gadis, di temani minunan laknat. Satu hal kami lupa saat itu, makanan. Segera salah seorang di antara kami bergegas membeli makanan dengan mengendarai mobilnya. Saat ia berangkat. Jam menunjukkan pukul enam sore. Beberapa jam berlalu, tapi teman kami itu belum juga kembali. Pukul sepuluh malam, hatiku mulai tak enak dan gusar. Maka aku segera membawa mobil untuk mencarinya, di tengah perjalanan, di kejauhan aku melihat jilatan api, aku mencoba mendekat.


Astaghfirullah, aku hampir tak percaya dengan yang kulihat. Ternyata api itu bersumber dari mobil temanku yang terbalik dan terbakar. Aku panik seperti orang gila. Aku segera mengeluarkan tubuh temanku dari mobilnya yang masih menyala. Aku ngeri tatkala melihat separuh tubuhnya masak terpanggang api. Kubopong tubuhnya lalu kuletakkan di tanah.
Sejenak kemudian, dia berusaha membuka kedua belah matanya, ia berbisik lirih: “ api …., api ……!
Aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit dengan mobilku. Tetapi dengan suara campur tangis, ia mencegah: “Tak ada gunanya .. aku tak akan sampai …!


Air mataku tumpah, aku harus menyaksikan temanku meninggal di hadapanku. Di tengah kepanikanku, tiba-tiba ia berteriak lemah: “apa yang mesti kukatakan kepada-Nya? Apa yang mesti kukatakan pada-Nya?


Aku memandanginya penuh keheranan. “siapa? Tanyaku. Dengan suara yang seakan berasal dari sumur yang amat dalam, dia menjawab: “Allah!”


Aku merinding ketakutan. Tubuh dan perasaanku terguncang keras. Tiba-tiba temanku itu menjerit, gemanya menyelusup ke setiap relung malam yang gulita, lalu kudengar teriakkan nafasnya yang terakhir: “Innaalillaahi wa’inna ilaihi raajiuun.”


Setelah itu, hari-hari berlalu seperti sedia kala, tetapi bayangan temanku yang meninggal, jerit kesakitannya, api yang membakarnya, dan lolongannya” apa yang harus kukatakan pada-Nya? Apa yang harus kukatakan pada-Nya? Seakan terus membuntuti setiap gerak dan diamku.
Pada diriku sendiri aku bertanya: “Aku …apa yang harus kukatakan pada-Nya?


Air mataku menetes lalu sebuah getaran aneh menjalari jiwaku. Saat puncak perenungan itulah, sayup-sayup aku mendengar adzan subuh menggema: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaaha illa Allah …. Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullah, Hayya ‘Alash Shalaah …”


Aku merasa bahwa adzan itu hanya ditujukan kepada diriku saja. Mengajakku menyingkap fase kehidupanku yang kelam, mengajakku ke jalan cahaya dan hidayah. Aku segera bangkit mandi dan wudhu, mensucikan tubuhku dari noda-noda kehinaan yang menenggelamku selama bertahun-tahun.


Sejak saat itu, aku tak pernah lagi meninggalkan shalat. Aku memuji Allah, yang tidak layak dipuji selain Dia. Aku telah menjadi manusia lain. Maha Suci Allah yang mengubah berbagai keadaan. Dengan seizin Allah, aku telah menunaikan umrah. Insya Allah aku akan melaksanakan haji dalam waktu dekat, siapa yang tahu? Umur ada di tangan Allah? ([9]).

4. Kesudahan yang berlawanan:


Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orang tuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.


Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada diriku sendiri: “alangkah sabarnya mereka …. Setiap hari begitu ….. benar-benar mengherankan!.


Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat-shalat orang-orang pilihan… mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk bermunajat kepada Allah.


Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah.padahal berbagai nasihat kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.


Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.


Aku ditugasi menjaga keamanan lalu lintas di jalan antar kota. Di samping menjaga keamanan jalan. Tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan, aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi, tetapi hidupku bagaikan di ombang-ambingkan ombak.


Aku bingung dan sering melamun sendirian… bayak waktu luang…. pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh… tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir setiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.


Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol… tiba–tiba kami dikagetkan oleh sebuah benturan yang amat keras, kami mengedarkan pandangan. Ternyata sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.


Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil dalam kondisi sangat kritis, keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.


Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.


Ucapkanlah: “Laailaaha Illallaah … laailaaha illallaah perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan ini membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat… kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.


Aku diam membisu, aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat, tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu tak ada gunanya…


Suara lagunya terdengar semakin melemah.. lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak … keduanya telah meninggal dunia.


Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah katapun. Selama perjalanannya ada kebisuan, hening.


Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). ia berkata:“Manusia akan mengakhiri hidupnya…
















([1] ) Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Ausath dan dishahihkan oleh Al AlBani dalam Sahih Jami’ush Shaghir no 6531.
([2]) Hijab: Maksudnya, busana wanita muslimah yang menutupi seluruh badan tubuhnya dari kepala sampai telapak kaki, hijab tersebut mempunyai syarat-syarat tertentu.( lihat hal no: 62)
([3] ) Tafsir Al Qurthubi : 8/ 5325
([4] ) Nuzhatul Muttaqin : 1/25.
([5] ) Ceramah syaikh Asy Sya’rawi dengan judul : Apakah manusia dipaksa atau punya pilihan? Disampaikan di Kuwait pada tahun 80-an.
([6] ) a. Diriwaytkan oleh Al Bukhari, kitaabun nikah, 9/115.
b. Kedua tanganmu berlumur debu maksudnya: menjadi fakir (Subulus Salaam, 2/112
c. Dalam Al Misbah di sebutkan , تربت يداك adalah ungkapan bahasa orang-orang Arab dalam bentuk do’a. Hanya saja dalam hadits ini tidak dimaksudkan sebagai do’a, tetapi sebagai motivasi dan anjuran.
([7] ) Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, kitaabul Ahkaam. 13/100. Hadits ini masih ada sambungannya.
([8] ) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/223) Al Haitsami berkata: “ Rijal (perawai-perawi) Ahmad (dalam hadits ini) adalah rijal shahih (Majmauz zawa’id ).
([9] ) Lisy Syababi Faqoth ( Hal : 7-10)

Tumpuan Dasar Kebangkitan Islam Di Tengah Kehidupan

Kita dapat melihat para ikhwah penyeru dakwah dan kebangkitan Islam yang terdorong dengan semangat keagamaan sampai saat ini semakin banyak dan hal ini tidak diragukan adalah suatu kebaikan, sebab bila tidak ada semangat tentulah tidak ada keberanian untuk maju, namun semangat saja tidaklah cukup, sebab seseorang harus memiliki landasan yang kuat dalam mengamalkan dan mendakwahkan syariat Islam ini.

Ilmu adalah dasar bagi dakwah dan inti utama dari dakwah, dan tidak mungkin sebuah dakwah akan sempurna sesuai dengan ridha Alloh Subhanallohu wa Ta’ala kecuali apabila dibangun di atas ilmu. Maka setiap dakwah tanpa ilmu pasti akan mengalami penyimpangan dan kesesatan. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam telah mengingatkan hal tersebut bila para ulama telah diambil (oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala) sehingga tidak lagi tersisa selain para pemimpin yang bodoh yang memberikan fatwa tanpa landasan ilmu hingga tersesat dan menyesatkan.

Hal diatas berdasarkan Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash bahwa Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekaligus mencabutnya dari para hamba, namun Ia mencabutnya dengan mengambil para ulama hingga tidak lagi tersisa seorang alimpun maka manusia mengangkat para pemimpin yang jahil lalu mereka ditanya dan merekapun menjawab fatwa tanpa ilmu hingga mereka tersesat dan menyesatkan” (HR. Al-Bukhari no.34 dan Muslim no. 3673)

Karena itu wajiblah bagi para da’i untuk mengetahui apa yang ia dakwahkan dengan ilmu yang shohih yang berlandaskan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam dengan pemahaman para umat terdahulu yang sholeh dan langsung dibimbing oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, karena setiap ilmu yang bersumber dari selain kepada keduanya harus dihadapkan terlebih dahulu kepada keduanya, dan setelah itu maka bisa jadi ia sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam atau meanyelisihi keduanya. Jika suatu perkara sesuai dengan keduanya maka ia diterima, dan jika menyelisihi maka ia wajib ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya siapapun ia. Telah tsabit (kuat) khabar dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu anhu beliau berkata: “Hampir—hampir saja dijatuhkan kepada kalian sebongkah batu dari langit, aku mengatakan: Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda begini lalu kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar mengatakan begini”

Jika hal ini berlaku atas perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallahu anhuma yang bertentang dengan perkataan Rasulullahshalallahu ‘alahi wa sallam, lalu bagaimana pula gerangan dengan perkataan orang yang lebih rendah dari keduanya dalam hal ilmu, ketaqwaan, shuhbah (status sebagai shohabat) dan khilafah. Maka tentulah penolakan perkataan orang tersebut lebih utama bila bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam. Dan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih ” (QS. An-Nur: 63)

Imam Ahmad rohimallah berkata: “Apakah engkau mengetahui yang dimaksud fitnah itu? Ia adalah kesyirikan. Mungkin bila sebagian perbuatannya (Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam) ditolak akan menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam hati sehingga menyebabkan ia binasa”

Adapun dakwah yang tidak dibarengi ilmu maka ia adalah dakwah yang dibangun diatas kebodohan. Dan dakwah yang dibangun di atas kebodohan bahayanya akan lebih besar dari manfaatnya, karena sang da’i telah mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing. Jika ia adalah orang yang jahil maka tentulah (dalam kondisi yang seperti itu) ia akan tersesat dan menyesatkan wal ‘iyadzubillah, dan kebodohannya menjadi kebodohan yang berlapis-lapis dan ini lebih parah daripada kebodohan yang biasa. Sebab kebodohan yang biasa akan dapat menahan pemiliknya untuk tidak berbicara dan dapat dihilangkan dengan belajar. Namun yang menjadi persoalan besar adalah orang yang kebodohannya berlapis-lapis sebab dia tidak akan diam dan akan terus berbicara meskipun atas dasar kebodohan, dan dalam kondisi seperti ini ia akan lebih banyak menghancurkan daripada memberikan cahaya.

Selain memiliki ilmu yang memadai, seseorang yang menyampaikan cahaya Islam yang mulia ini haruslah memiliki pemahaman yang benar dalam ilmu yang dikuasainya. Maksudnya adalah memiliki pemahaman terhadap keinginan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam. Ilmu tidaklah cukup dan jauh dari manfaat jika hanya sebatas berupa hafalan dan diskusi semata tanpa diiringi pemahaman yang benar dan mendalam. Sebagaimana banyaknya kesalahan dari suatu kaum yang meskipun menggunakan nash-nash yang shohih namun dipahami tidak sesuai dengan kehendak Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, sehingga mengakibatkan kesesatan.

Kesalahan dalam memahami suatu perkara dalam Islam bisa jadi lebih berbahaya daripada kesalahan yang disebabkan kebodohan. Karena seorang yang jahil (bodoh dalam hal agama) kemudian melakukan kesalahan disebabkan kejahilannya tersebut, akan tetap menyadari bahwa ia adalah orang yang jahil dan harus belajar. Tapi orang yang salah dalam memahami (dimana dia merasa menguasai banyak hal dalam agama ini mulai dari bahasa arab, hadits dan lain-lain), akan tetap meyakini bahwa dirinya adalah seorang yang alim dan meyakini bahwa apa yang ia fahami itu sudah sesuai dengan kehendak Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam.

MENGETAHUI APA YANG DIDAKWAHKAN

Seorang da’i harus mengetahui hukum syar’i apa yang akan di dakwahkan sebab bisa jadi ia menyeru kepada sesuatu yang ia sangka wajib namun sebenarnya ia tidaklah wajib, sehingga akibatnya ia telah mewajibkan kepada para hamba Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala atas mereka. Dan bisa jadi ia menyeru meninggalkan sesuatu yang ia sangka haram sehingga akibatnya ia telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya.

Demikian pula, ada sebagian orang yang mngira-ngira bahwa suatu perkara tertentu adalah wajib, dan bisa jadi ia meyakini hal tersebut berdasarkan ijtihadnya yang salah. Dan seandainya ia hanya mencukupkan dengan hal tersebut, namun ia kemudian menjadikan keyakinan yang dibangun atas penakwilan atau syubhat tanpa dasar tersebut sebagai sarana/jalan untuk memberikan loyalitas (kepada individu atau kelompok tertentu). Inilah yang menjadi masalah!. Maka apabila seseorang tidak sependapat dengan dirinya walaupun pendapatnya salah bila dilihat dari sudut Al-Qur’an dan As-Sunnah, iapun membenci dan tidak menyukainya. Dan bila ada orang yang sependapat dengannya maka iapun mencintainya. Dan ini juga suatu masalah!.Seseorang janganlah berfatwa dengan harapan ia dipuji oleh manusia atau agar menjadi orang yang dicintai dan tidak dibenci oleh manusia, ia haruslah berfatwa berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar dalam syariat Islam. Oleh sebab itu, seorang yang ingin berfatwa harus mengetahui dimana ia harus meletakkan kakinya sebelum ia memijakkannya. Ia harus mengetahui bahwa inilah syariat Islam sebelum ia memberikan fatwa karena ia adalah orang yang menyampaikan syariat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

MENGETAHUI KONDISI ORANG YANG IA DAKWAHI

Ketika Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam mengutus Mu’adz rodhiyallahu anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya: “Sesungguhnya engkau (akan) mendatangi suatu kaum yang ahlul kitab” (HR. Al Bukhari no.1395 dalam bab Wujub Az-Zakah dan Muslim no. 19 dalam kitab Al-Iman dari hadits Abdullah Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu). Beliau memberitakannya agar Mu’adz rodhiyallahu anhu mengetahui kondisi mereka dan mempersiapkan diri menghadapi mereka.

Kita harus mengetahui kondisi mad’u (orang yang didakwahi) tersebut, bagaimana tingkat pendidikan dan pengetahuannya, bagaimana kemampuannya berdebat, Sehingga antum mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Apabila antum kalah melakukan debat maka hal ini dapat menjadi musibah besar bagi Al-Haq, dan janganlah kita menganggap remeh para pendukung kebatilan. Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “” (HR. Al-Bukhari no. 2680 dalam kitab Asy-Syahadat dan Muslim no. 1713 dalam kitab Al-Aqdhiyah dari hadits Ummu Salamah rodhiyallahu anhu)

Ini menunjukkan bahwa ada orang yang mendukung sesuatu yang batil namun ia lebih fasih dalam menyampaikan hujjah dari yang lain, sehingga yang diputuskan adalah apa yang sesuai dengan hujjahnya. Maka pastilah antum para da’i harus mengetahui kondisi orang yang antum dakwahi (mad’u) Wallahu ‘Alam.

Belajar Apa Dulu?

Kita tahu bahwa Islam itu dimulai dari menuntut ilmu tentang Islam itu sendiri. Seperti dalam firman Allah yang pertama kali turun ke bumi adalah "Iqro' " = bacalah, bahwa disitu mengandung pengertian bahwa kita sebagai manusia hendaknya belajar atau membaca tentang ayat - ayat (tanda -tanda) kebesaran Allah. Bagaimana Allah menciptakan manusia dan menciptakan alam semesta beserta isinya.


Tidak langsung mengamalkan suatu amalan yang amalan itu mungkin belum jelas apakah ada dasarnya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Dan juga tidak langsung berdakwah dengan ilmu yang pas-pasan. Lalu jika kita mau belajar Islam, sebenarnya apa yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu?

Mari kita renungkan .

Agama ini datang dari Pencipta kita, dan disampaikan oleh RasulNya. Tujuan agama ini adalah menegakkan ibadah kepada Pencipta kita tersebut dengan cara-cara yang telah disampaikan oleh Rasulnya. Jadi sebelum kita belajar Islam lebih dalam, maka seharusnyalah kita mengetahui siapa Pencipta kita itu, dan bagaimana cara berinteraksi denganNya. Juga mengetahui siapa RasulNya dan bagaimana kita bersikap terhadap beliau.

Dua hal tersebut tercakup dalam ilmu yang disebut ‘aqidah. Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Jika ada orang yang berkata, “ Saya ber’aqidah begini”. Maksudnya adalah, ia mengikat hati terhadap sesuatu tersebut. Singkat kata, ‘aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Secara terinci, aqidah adalah rukun iman, yaitu iman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik dan yang buruk. Jadi, ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu adalah ‘aqidah.

Mungkin kita masih bertanya-tanya, mengapa demikian?Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “ Barang siapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl : 97).

Pada ayat di atas, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa Ia akan memberi pahala kepada laki-laki dan perempuan yang beramal baik dan dalam keadaan beriman. Jadi, Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan keimanan bagi seseorang yang beramal baik agar orang itu diberi pahala. Jika orang itu beramal baik yang banyak sekali, namun ia tidak mempunyai keimanan, maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberi pahala kepadanya. Maka keimanan tersebut merupakan syarat mutlak bagi seseorang jika ia ingin selamat dunia akherat.
Sedangkan tadi telah dijelaskan bahwa keimanan itu termaktub dalam rukun iman. Dan rukun iman itulah inti aqidah Islam. Maka inilah sisi pentingnya ‘aqidah Islam. Jika seseorang belajar tentang ilmu fiqh sedalam-dalamnya, kemudian ia beramal sebanyak-banyaknya, namun tidak pernah mempelajari ‘aqidah Islam, maka jurang kehancuran telah siap menelannya.

Sangat mungkin sekali ia berbuat syirik namun ia tidak pernah mengetahui hal tersebut, karena ia tidak mau mempelajari ‘aqidah Islam. Padahal ia telah beramal banyak. Karena keengganannya untuk mempelajari ‘aqidah Islam itulah, yang membuat ia terjerumus ke dalam perbuatan syirik, sehingga syirik tersebut membuat amalnya batal semuanya tak bersisa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “ Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya benar-benar akan terhapus semua amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS: Az-Zumar: 65).

Inilah pentingya ‘aqidah! Dengan mempelajari dan menegakkan ‘aqidah Islamiyah-lah kita akan selamat dunia akhirat.

Hal yang pertama sekali harus kita pelajari dalam ilmu ‘aqidah adalah tentang dua kalimat syahadat (ahamiyatus syahadah) . Mengapa?

Secara akal, dua kalimat syahadat inilah yang bisa membuat seseorang dari kafir menjadi muslim. Maka sungguh aneh jika seorang muslim tidak pernah mempelajari kalimat yang dengannya kita bisa selamat dari neraka. Dan sungguh tergesa-gesa sekali jika kita meninggalkan kalimat syahadat, dan langsung mempelajari ilmu lain. Padahal kalimat inilah yang mengandung tauhidullah (pengesaan terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala) yang merupakan tugas pokok para Rasul dari Nabi Nuh ‘alaihissalaam sampai Rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Syahadat adalah pintu masuknya seseorang kedalam Islam . Orang yang tadinya kafir tidak akan dianggap atau diakui sebagai orang Islam sebelum mengucapkan kedua kalimah syahadah. Dan inilah bentuk pengakuan seseorang akan kebenaran Islam.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), sembahlah Alloh saja, dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Alloh) itu.’.” (QS: An-Nahl: 36). “ Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelun kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘ Bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’.” (QS: Al-Anbiyaa’: 25).

Syahadat adalah Hakekat dakwah para rasul.

Dalam surat Al-A’raf, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menceritakan bahwa Nabi Nuh, Huud, Shalih, Syuaib, dan lain-lain itu sama semua seruannya, yaitu menyeru kepada penyembahan Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata (tauhid), yang artinya: “ Hai kaumku, sembahlah Alloh, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selainNya.” (QS: Al-A’raaf: 59, 65, 73, 85).

Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh dan bahwa Muhammad adalah Rasululloh.” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).

Dari dalil-dalil di atas, telah jelas bagi kita bahwa tugas inti dan yang paling pokok dari para Rasul Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah menyampaikan kalimat tauhid, menegakkan penyembahan hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala saja. Jika kita tidak mempelajari aqidah, maka tujuan pengutusan rasul Allah pada diri kita tidak tercapai, dan akibatnya hanya akan menjadi kerugian pada diri kita suatu hari nanti.

Selain memang dakwah kepada tauhidullah itu adalah tugas inti dakwah para rasul, maka Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penyampaian kalimat syahadat menjadi materi dakwah yang pertama kali harus diterangkan kepada umat.

Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke Yaman, yang artinya: “ Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Laa ilaaha illaLLaah “–dalam riwayat lain disebutkan: “Supaya mereka mentauhidkan Alloh” - Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu dakwahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam….” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).

Jika begitu, maka ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dulu dan kita utamakan adalah ‘aqidah, khususnya tentang kalimat syahadat.

Maka jangan tunggu-tunggu lagi, mari kita pelajarilah rukun iman, koreksi pemahaman kalimat syahadat kita, bisa jadi belum sempurna. Tegakkan tauhidulloh, sembahlah Alloh Subhanahu wa Ta’ala saja, jauhkanlah diri dari segala macam bentuk syirik dan segala macam penyimpangan dalam ‘aqidah. Jangan sampai keengganan kita untuk belajar ‘aqidah Islam menjadi bumerang bagi diri kita sendiri pada waktu menghadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala nanti.

Wallaahu a’lam bishowab.

Sifat Malu “Yang Mulia”

MediaMuslim.Info - Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.

Malu adalah ImanLunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)

Malu, Kunci Segala KebaikanMalu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.

Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”

Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:“Bila cahaya wajah berkurang,maka berkurang pula rasa malunyaTidak ada keindahan pada wajah,Bila cahayanya berkurangRasa malumu peliharalah selalu,Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,Adalah rasa malunya.”Bukannya Tidak PedeMempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Alloh-lah yang paling berhak kita malui?

Al-Qurthubi rahimahulloh berkata:
“Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya :
“Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus DitumbuhkanPengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.

(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)

Rabu, November 19, 2008

Menjelang Kebangkitan Islam

Rabu, 19 Nov 2008 14:17 WIB
Eramuslim.com
Di tengah situasi keterpurukan dunia, akibat resesi yang bersifat global, perlu ada alternative yang dibutuhkan, sebagai solusi dari kondisi krisis. Prakarsa para pemimpin Islam sangatlah penting, mencari dan memberikan solusi terhadap situasi krisis yang sekarang sedang melanda seluruh dunia. Dan, tentu lebih khusus yang dialami oleh Indonesia saat ini. Akibat krisis yang ada sekarang ini, ancaman yang paling pokok adalah meningkatnya jumlah pengangguran.

Dalam kondisi krisis yang sangat memprihatinkan itu, Yayasan Pesantren Al-Azhar dan Masjid Agung Al-Azhar akan menyelenggarakan : Refleksi Kebangkitan Umat Islam Abad Ke XV Hijriyah, yang bertepatan dengan peringatan 1 Muharram 1430 Hijriyah, yang akan menampilkan sejumlah tokoh Islam, diantaranya Prof.Dr.H.Amin Rais, yang berbicara tentang: Kondisi Dan Peran Umat Islam Dalam Percaturan Politik Global. Peringatan 1 Muharam ini juga akan menghadirkan Prof.Yusril Ihza Mahendra, Dr.KH.Abdullah Syukri Zarkasyi MA, dan Dr.H.Miftach Farid MA.

Khusus, KH.Miftach Farid, akan berbicara tentang dakwah di Indonesia Tantangan dan Harapan.Peringatan hijriyah ini sangatlah relevan. Mengingat sejak dicanangkan tentang ‘Kebangkitan Islam’, yang sudah berlangsung hampir 30 tahun, justru tidak nampak secara kuantitatif maupun kualitatif, arah dan perkembangan yang merefleksikan adanya Kebangkitan Islam. Justru yang terjadi adalah wilayah-wilayah Islam terjadi konflik, yang mempunyai akibat yang sangat luas, khususnay bagi kehidupan rakyat atau umat. Tentu, konflik yang paling parah adalah di Iraq, sejak terjadinya agresi yang dilakukan oleh Amerika terhadap Iraq, mengakibatkan kehancuran kehidupan rakyat Iraq. Di Afghanistan sesudah rakyat di kawasan itu dapat bebas dari Uni Soviet, sekarang menghadapi penjajahan baru, yang dilakukan oleh Amerika dan Sekutunya.

Refleksi yang diselenggarakan oleh Yayasan Pesantren Al-Azhar, yang akan berlangsung di Masjid Agung Al-Azhar, berlangsung pada hari Senin, 29 Desember 2008, pukul 08.00 hingga menjelang Dhuhur. Diharapkan umat Islam di Jakarta, dapat menghadiri refleksi tentang peringatan hijriyah, yang sudah hampir lebih tiga puluh tahun lalu.

Sementara itu, Masjid Agung al-Azhar, yang berdiri di tahun 1952, yang didirikan oleh Walikota pertama Jakarta, Raden Syamsuridjal, seoran tokoh pergerakan Partai Masyumi, dan pendiri pertama dari Jong Java, berawal, ketika ia menjadi walikota menginginkan adanya sebuah masjid di pusat kota. Maka, kemudian didapatkan tanah seluas 4.000 meter, yang sekarang menjadi komplek pendidikan Yayasan Al-Azhar, yang terletak di Jalan Sisingamaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Al-Azhar yang menjadi miniatur pendidikan itu, tak lain, merupakan warisan Walikota Syamsuridjal, dan dilanjutkan dan dibesarkan almarhum Buya Hamka. Kini, komplek pendidikan yang terletak di Kebayoran Baru itu, memiliki cabang di seluruh wilayah Indonesia. Seperti di Padang, Palembang, Medan, Banten, Lampung, Cirebon, Surabaya dan Pontianak. Lembaga pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Al-Azhar meluai dari TK, SD, SMU, dan Perguruan Tinggi. Di Kebayoran Baru, berdiri dengan megah Kampus Universitas Al-Azhar, yang telah mulai melakukan aktifitasnya sejak, dua tahun lalu. Semoga.

Salahuddin Wahid Siap Hadiri Rekonsiliasi, Puji PKS Cerdik

Hestiana Dharmastuti - detikNews




Jakarta - Ajakan rekonsiliasi yang digagas PKS disambut baik Salahuddin Wahid. Adik Gus Dur ini pun siap memenuhi undangan PKS. Cucu pahlawan Hasyim Asy'ari ini justru memuji langkah PKS yang menggalang pertemuan ahli waris pemimpin bangsa.



"Saya diundang lewat telepon. Rencananya acara 19 November," kata pria yang akrab disapa Gus Solah ini kepada detikcom, Jumat (14/11/2008).Gus Solah mengaku siap menghadiri acara rekonsiliasi itu. "Kebetulan saya di Jakarta, saya akan datang," ujarnya.Menurut dia, rekonsiliasi ahli waris pemimpin bangsa yang digagas PKS sangat bagus.



"Rekonsiliasi ada sejak dulu. Bagus-bagus saja. Orang yang menghargai para pahlawan, melestarikan nilai-nilai kepahlawanan kepada masyarakat kan bagus. PKS cerdik soal ini," papar pria berkacamata ini.PKS sebelumnya akan menggelar pertemuan para ahli waris pemimpin yang merupakan lanjutan iklan Hari Pahlawan PKS. Pertemuan itu akan mengundang antara lain Meuthia Hatta, ahli waris Bung Tomo, ahli waris M Natsir, dan ahli waris Hasyim Asy'ari.(aan/nrl)

Iklan Soeharto Bukti PKS Berani, Strategi Jual Posisi Minor

Ken Yunita - detikNews

Jakarta - Iklan Hari Pahlawan PKS yang menampilkan gambar mantan presiden Soeharto banyak menuai kritik. Tuntutan untuk menarik pun berdatangan.

Namun pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada Hermin Indah Wahyuni justru menilai iklan kontroversial itu merupakan strategi yang bagus.

"Itu strategi mengambil posisi minor untuk dijual. Itu bagus dan berani," kata Hermin saat berbincang dengan detikcom, Selasa (11/11/2008).

Hermin yakin, setiap peluncuran iklan pasti telah melalui survei dan pembahasan. Kemungkinan, kata Hermin, PKS sengaja men-setting iklan itu untuk mengundang polemik.

"Saya kira mereka sudah siap bakal banyak yang protes. Iklan itu akan menimbulkan perhatian masyarakat. Mereka (PKS) pasti senang," ujar perempuan yang menyelesaikan S3 di Jerman itu.

Hermin juga berpendapat, tuntutan untuk menarik iklan-iklan PKS terlalu berlebihan. Sikap itu, menurutnya, sungguh tidak demokratis.

"Itu sah-sah saja dalam komunikasi politik. Itu juga bukti keberanian PKS," tandasnya.Iklan PKS bertema Hari Pahlawan tayang di berbagai televisi nasional. Iklan itu dikritik karena menampilkan gambar Soeharto yang disandingkan dengan Soekarno, KH Ahmad Dahlan, M Natsir dan beberapa pahlawan lainnya.

Dalam iklan itu, PKS menyebut mereka sebagai pahlawan dan guru bangsa. Padahal, hingga saat ini, pemerintah belum pernah mengangkat Soeharto sebagai pahlawan.

Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta iklan itu ditarik karena menampilkan tokoh Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, tanpa izin.

PKB Bela PKS Soal Iklan Soeharto 'Pahlawan'

Didi Syafirdi - detikNewsdeo Terkait Soeharto di Iklan PKS

Jakarta - Tidak hanya Partai Golkar, PKB pun ikut sumbang suara seputar iklan PKS yang menjadikan Soeharto sebagai 'guru bangsa dan pahlawan'. Bagi PKB, PKS mungkin ingin menunjukkan Soeharto berjasa untuk Indonesia dan bukan sebagai pahlawan.

"Mungkin yang ditampilkan PKS peran Soeharto bukan sebagai pahlawan. Mungkin PKS melihat Pak Harto banyak memberi sesuatu yang berharga bagi bangsa kita. Kalau sebagai pahlawan, memang Pak Harto belum ditetapkan sebagai pahlawan," kata Sekjen DPP PKB kubu Muhaimin Iskandar, Lukman Edy.

Hal ini disampaikan Lukman di sela-sela acara Simposium Nasional Kebangkitan Indonesia dengan tema '13 agenda kebangkitan bangsa untuk kemandirian dan kedaulatan Indonesia' di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2008).

Ketika ditanya apakah Soeharto layak menjadi pahlawan, pria yang juga menjabat Menneg PDT ini hanya melempar senyum.

Hasyim Asy'ari

Dalam kesempatan itu, Lukman menegaskan PKB tidak masalah atas iklan PKS yang menampilkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy'ari.

"Kita melakukan publikasi tidak lagi dengan simbol-simbol tertentu. Kalau kemudian, NU keberatan mungkin itu kader-kader NU. Bagaimana selama ini PKS menghujat ajaran NU," ujar Lukman.Menurut dia, secara resmi IPNU dan PMII sudah menegur melalui pers untuk mencabut iklan dan meminta revisi.
(aan/iy)

Sejarawan : Iklan PKS Tak Salah

Ken Yunita - detikNews

Jakarta - Gambar KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari muncul di iklan politik PKS. Partai ini pun kena protes. Apakah PKS patut disalahkan karena menampilkan para pahlawan nasional itu untuk kampanye?

Menurut sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Asvi Warman Adam, tidak ada masalah dalam iklan politik PKS yang kini kerap lalu lalang di layar kaca itu. Hal itu karena, kedua tokoh yang muncul adalah pahlawan nasional.

"Itu ikon pahlawan nasional, itu nggak masalah. Boleh dipakai siapa saja," kata Asvi kepada detikcom, Jumat (31/10/2008).

Asvi menilai, tampilnya tokoh nasional di dalam iklan politik sangat positif. Anak-anak dan masyarakat, dapat belajar sejarah dari iklan.
"Kan tidak semua tokoh nasional diajarkan dalam pelajaran sejarah sekolah. Jadi saya mendukung sekali dan kalau bisa malah ditambah," katanya.

Sebelumnya, Gerakan Pemuda Nahdhatul Ulama (NU) mempermasalahkan iklan PKS yang menampilkan tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari. Sementara Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah merasa pemuatan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dalam iklan politik PKS di televisi akan merugikan Muhammadiyah.(ken/iy)

PKS HIDUP DALAM CACI MAKI


PK-Sejahtera Online: “Kalau sudah punya cabang di mana-mana, di 5 benua, di dasar samudera, di ruang angkasa, emangnya kenapa? Sombong luh PKS, awas lho entar kuwalat-lat-lat-lat!,” ada yang sebegitu pedas mungkin cercaannya.

“Punya ratusan kader bergelar doktor dan ribuan sarjana saja sudah sok hebat, berlagak angkuh dan merendahkan pihak lain,“ ujar sejumlah kalangan menohok partai si bulan dan si padi.

“Tidak ada jaminan gelar pendidikan setinggi itu bisa menuntaskan permasalahan bangsa; yang penting kerja bung, bukan gelar“, tambah mereka yang semakin kesal dengan ulah PKS.Sesungguhnya dunia cerca-mencerca, caci-memaki dan hina-menghina bukanlah barang baru dalam sejarah manusia. Itu sudah ada sejak dulu, setua sejarah kemanusiaan itu sendiri. Jadi arena caci-maki pun sesungguhnya warisan masa lalu, bedanya sekarang hujatan itu dihiasi bunga-bunga berbau PKS.Sejarah membuktikan, semakin dewasa dan arif seseorang, maka semakin jauhlah ia dari perbuatan mencaci orang lain.


Kedewasaan ini membuatnya mengedepankan ungkapan santun penuh kesejukan. Sebaliknya begitu, semakin bijak dan dewasa seorang anak Adam, semakin sabar dan berwibawalah ia dalam menghadapi caci maki yang dialamatkan kepadanya, tanpa terpancing membalas cemoohan itu. Karena ia sadar, di balik hujan caci-maki, pasti ada hikmah kebaikan dari Tuhan. Jadi PKS patut bersyukur dengan semprotan lisan itu.


Di antara kebaikan dicerca adalah semakin terkokohkannya sifat atau akhlak mulia dalam diri seseorang. Sebut saja sifat mau dikoreksi dan membenahi diri. Sebab bisa jadi cercaan itu mengandung kebenaran, dan ini sangat bagus buat perbaikan PKS.Selain itu, melalui penghinaan, PKS barangkali sedang dilatih untuk memaafkan. Karena bisa jadi yang mencaci-maki itu suatu saat insaf dan akan menjadi sahabat paling setia dan paling tulus dengan cara dimaafkan.Penelitian ilmiah menyebutkan, memaafkan dapat menjadikan seseorang tidak mengulangi lagi perbuatan tidak baik yang pernah dilakukannya kepada seseorang. Di samping itu, kata para ilmuwan, memaafkan itu mendatangkan kesehatan jiwa dan raga.Ilmuwan psikologi asal AS, Harry M Wallace dkk telah menerbitkan karyanya di jurnal ilmiah Journal of Experimental Social Psychology, volume 44, Maret 2008.


Dalam bahasa Indonesia hasil judul temuan ilmiah itu berbunyi “Dampak memaafkan terhadap hubungan antar-pribadi: Apakah memaafkan akan menghalangi atau mendorong terulangnya perbuatan tercela terhadap orang lain?”Hasilnya sungguh menakjubkan. Pernyataan maaf dari orang yang teraniaya kepada si pelaku perbuatan zalim itu ternyata membuat si pelaku pada umumnya tidak mau melakukan perbuatan buruk itu lagi.


Tidak heran jika di negara maju, ‘memaafkan’ kini menjadi salah satu solusi bagi penanganan konflik antar pribadi, maupun antar kelompok masyarakat.Memaafkan ternyata memiliki dampak positif terhadap kesehatan jiwa raga. Bahkan penggunaan ‘obat memaafkan sudah diujicobakan dalam penanganan pasien, dan berhasil baik. Ini diuraikan panjang lebar oleh Worthington Jr., pakar psikologi di Virginia Commonwealth University, AS, dkk dalam karya ilmiahnya, Forgiveness in Health Research and Medical Practice (Memaafkan dalam Penelitian Kesehatan dan Praktik Kedokteran), di jurnal Explore, Mei 2005.