Senin, November 24, 2008

Tumpuan Dasar Kebangkitan Islam Di Tengah Kehidupan

Kita dapat melihat para ikhwah penyeru dakwah dan kebangkitan Islam yang terdorong dengan semangat keagamaan sampai saat ini semakin banyak dan hal ini tidak diragukan adalah suatu kebaikan, sebab bila tidak ada semangat tentulah tidak ada keberanian untuk maju, namun semangat saja tidaklah cukup, sebab seseorang harus memiliki landasan yang kuat dalam mengamalkan dan mendakwahkan syariat Islam ini.

Ilmu adalah dasar bagi dakwah dan inti utama dari dakwah, dan tidak mungkin sebuah dakwah akan sempurna sesuai dengan ridha Alloh Subhanallohu wa Ta’ala kecuali apabila dibangun di atas ilmu. Maka setiap dakwah tanpa ilmu pasti akan mengalami penyimpangan dan kesesatan. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam telah mengingatkan hal tersebut bila para ulama telah diambil (oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala) sehingga tidak lagi tersisa selain para pemimpin yang bodoh yang memberikan fatwa tanpa landasan ilmu hingga tersesat dan menyesatkan.

Hal diatas berdasarkan Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash bahwa Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekaligus mencabutnya dari para hamba, namun Ia mencabutnya dengan mengambil para ulama hingga tidak lagi tersisa seorang alimpun maka manusia mengangkat para pemimpin yang jahil lalu mereka ditanya dan merekapun menjawab fatwa tanpa ilmu hingga mereka tersesat dan menyesatkan” (HR. Al-Bukhari no.34 dan Muslim no. 3673)

Karena itu wajiblah bagi para da’i untuk mengetahui apa yang ia dakwahkan dengan ilmu yang shohih yang berlandaskan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam dengan pemahaman para umat terdahulu yang sholeh dan langsung dibimbing oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, karena setiap ilmu yang bersumber dari selain kepada keduanya harus dihadapkan terlebih dahulu kepada keduanya, dan setelah itu maka bisa jadi ia sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam atau meanyelisihi keduanya. Jika suatu perkara sesuai dengan keduanya maka ia diterima, dan jika menyelisihi maka ia wajib ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya siapapun ia. Telah tsabit (kuat) khabar dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu anhu beliau berkata: “Hampir—hampir saja dijatuhkan kepada kalian sebongkah batu dari langit, aku mengatakan: Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda begini lalu kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar mengatakan begini”

Jika hal ini berlaku atas perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallahu anhuma yang bertentang dengan perkataan Rasulullahshalallahu ‘alahi wa sallam, lalu bagaimana pula gerangan dengan perkataan orang yang lebih rendah dari keduanya dalam hal ilmu, ketaqwaan, shuhbah (status sebagai shohabat) dan khilafah. Maka tentulah penolakan perkataan orang tersebut lebih utama bila bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam. Dan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih ” (QS. An-Nur: 63)

Imam Ahmad rohimallah berkata: “Apakah engkau mengetahui yang dimaksud fitnah itu? Ia adalah kesyirikan. Mungkin bila sebagian perbuatannya (Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam) ditolak akan menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam hati sehingga menyebabkan ia binasa”

Adapun dakwah yang tidak dibarengi ilmu maka ia adalah dakwah yang dibangun diatas kebodohan. Dan dakwah yang dibangun di atas kebodohan bahayanya akan lebih besar dari manfaatnya, karena sang da’i telah mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing. Jika ia adalah orang yang jahil maka tentulah (dalam kondisi yang seperti itu) ia akan tersesat dan menyesatkan wal ‘iyadzubillah, dan kebodohannya menjadi kebodohan yang berlapis-lapis dan ini lebih parah daripada kebodohan yang biasa. Sebab kebodohan yang biasa akan dapat menahan pemiliknya untuk tidak berbicara dan dapat dihilangkan dengan belajar. Namun yang menjadi persoalan besar adalah orang yang kebodohannya berlapis-lapis sebab dia tidak akan diam dan akan terus berbicara meskipun atas dasar kebodohan, dan dalam kondisi seperti ini ia akan lebih banyak menghancurkan daripada memberikan cahaya.

Selain memiliki ilmu yang memadai, seseorang yang menyampaikan cahaya Islam yang mulia ini haruslah memiliki pemahaman yang benar dalam ilmu yang dikuasainya. Maksudnya adalah memiliki pemahaman terhadap keinginan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam. Ilmu tidaklah cukup dan jauh dari manfaat jika hanya sebatas berupa hafalan dan diskusi semata tanpa diiringi pemahaman yang benar dan mendalam. Sebagaimana banyaknya kesalahan dari suatu kaum yang meskipun menggunakan nash-nash yang shohih namun dipahami tidak sesuai dengan kehendak Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, sehingga mengakibatkan kesesatan.

Kesalahan dalam memahami suatu perkara dalam Islam bisa jadi lebih berbahaya daripada kesalahan yang disebabkan kebodohan. Karena seorang yang jahil (bodoh dalam hal agama) kemudian melakukan kesalahan disebabkan kejahilannya tersebut, akan tetap menyadari bahwa ia adalah orang yang jahil dan harus belajar. Tapi orang yang salah dalam memahami (dimana dia merasa menguasai banyak hal dalam agama ini mulai dari bahasa arab, hadits dan lain-lain), akan tetap meyakini bahwa dirinya adalah seorang yang alim dan meyakini bahwa apa yang ia fahami itu sudah sesuai dengan kehendak Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam.

MENGETAHUI APA YANG DIDAKWAHKAN

Seorang da’i harus mengetahui hukum syar’i apa yang akan di dakwahkan sebab bisa jadi ia menyeru kepada sesuatu yang ia sangka wajib namun sebenarnya ia tidaklah wajib, sehingga akibatnya ia telah mewajibkan kepada para hamba Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala atas mereka. Dan bisa jadi ia menyeru meninggalkan sesuatu yang ia sangka haram sehingga akibatnya ia telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya.

Demikian pula, ada sebagian orang yang mngira-ngira bahwa suatu perkara tertentu adalah wajib, dan bisa jadi ia meyakini hal tersebut berdasarkan ijtihadnya yang salah. Dan seandainya ia hanya mencukupkan dengan hal tersebut, namun ia kemudian menjadikan keyakinan yang dibangun atas penakwilan atau syubhat tanpa dasar tersebut sebagai sarana/jalan untuk memberikan loyalitas (kepada individu atau kelompok tertentu). Inilah yang menjadi masalah!. Maka apabila seseorang tidak sependapat dengan dirinya walaupun pendapatnya salah bila dilihat dari sudut Al-Qur’an dan As-Sunnah, iapun membenci dan tidak menyukainya. Dan bila ada orang yang sependapat dengannya maka iapun mencintainya. Dan ini juga suatu masalah!.Seseorang janganlah berfatwa dengan harapan ia dipuji oleh manusia atau agar menjadi orang yang dicintai dan tidak dibenci oleh manusia, ia haruslah berfatwa berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar dalam syariat Islam. Oleh sebab itu, seorang yang ingin berfatwa harus mengetahui dimana ia harus meletakkan kakinya sebelum ia memijakkannya. Ia harus mengetahui bahwa inilah syariat Islam sebelum ia memberikan fatwa karena ia adalah orang yang menyampaikan syariat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

MENGETAHUI KONDISI ORANG YANG IA DAKWAHI

Ketika Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam mengutus Mu’adz rodhiyallahu anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya: “Sesungguhnya engkau (akan) mendatangi suatu kaum yang ahlul kitab” (HR. Al Bukhari no.1395 dalam bab Wujub Az-Zakah dan Muslim no. 19 dalam kitab Al-Iman dari hadits Abdullah Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu). Beliau memberitakannya agar Mu’adz rodhiyallahu anhu mengetahui kondisi mereka dan mempersiapkan diri menghadapi mereka.

Kita harus mengetahui kondisi mad’u (orang yang didakwahi) tersebut, bagaimana tingkat pendidikan dan pengetahuannya, bagaimana kemampuannya berdebat, Sehingga antum mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Apabila antum kalah melakukan debat maka hal ini dapat menjadi musibah besar bagi Al-Haq, dan janganlah kita menganggap remeh para pendukung kebatilan. Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “” (HR. Al-Bukhari no. 2680 dalam kitab Asy-Syahadat dan Muslim no. 1713 dalam kitab Al-Aqdhiyah dari hadits Ummu Salamah rodhiyallahu anhu)

Ini menunjukkan bahwa ada orang yang mendukung sesuatu yang batil namun ia lebih fasih dalam menyampaikan hujjah dari yang lain, sehingga yang diputuskan adalah apa yang sesuai dengan hujjahnya. Maka pastilah antum para da’i harus mengetahui kondisi orang yang antum dakwahi (mad’u) Wallahu ‘Alam.

Tidak ada komentar: