Kamis, April 30, 2009

DETIK-DETIK AKHIR KEHIDUPAN RASULULLAH SAW

Sebuah kisah yang menceritakan detik-detik terakhir wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Manusia yang paling dicinta. Sebuah kisah yang menggambarkan cinta sang rasul yang sangat mengagumkan dan menggetarkan dada orang-orang yg beriman.

Menjelang beliau wafat, beliau melakukan haji terakhir yang disebut sebagai haji wada’ (haji perpisahan).

Saat beliau melakukan ibadah tersebut turunlah firman Allah SWT yg artinya:”
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nitmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS.al-Maidah:3)

Maka menangislah Abu Bakar as shiddiq ra.

Bersabdalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadanya:

“Apa yg membuatmu menangis dalam ayat tersebut?”

Abu Bakar ra menjawab:” Ini adalah berita kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.”

Kembalilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari haji wada’ dan kurang dari tujuh hari wafat beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, turunlah ayat al-Qur’an paling akhir yg artinya:

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yg terjadi pada) hari yg pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yg sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS.al-Baqarah:281).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mulai menampakkan sakit beliau. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata:”Aku ingin mengunjungi syuhada ‘Uhud”, maka beliaupun berangkat pagi menuju syuhada ‘Uhud di awal-awal bulan Shafar tahun 11 H. Lalu berdiri diatas makam para syuhada dan berkata:

” Assalamu’alaikum wahai syuhada ‘Uhud, kalian adalah orang-orang yang mendahului kami dan kami insya Allah akan menyusul kalian, dan sesungguhnya aku, insya Allah akan menyusul kalian.”

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pulang sambil menangis. Maka para sahabat bertanya kepada Rasululah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “Apa yang membuat anda menangis wahai Rasulullah ?

” Beliau bersabda: ” Aku merindukan saudara-saudaraku seiman.”

Mereka berkata:” Bukahkah kami adalah saudaramu seiman wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda:” Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudaraku seiman adalah suatu kaum yg datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku.”

Saya berdoa kepada Allah SWT mudah-mudahan kita semua termasuk mereka yg dirindukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Pada hari senin 29 Shafar beliau menghadiri jenazah di Baqi’. Ketika pulang beliau merasakan pusing di kepala dan panas badannya meninggi. Maka beliaupun mulai sakit dan terus bertambah sakit.

Selama sakitnya itu beliau tetap memimpin shalat selama 11 hari dari 13 atau 14 hari masa sakit beliau. Sejak kamis malam, 4 hari sebelum wafat beliau, pada waktu shalat Isya’, beliau meminta agar Abu Bakar ra menggantikannya dalam memimpin shalat.

Tiga hari sebelum beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, sakit beliau mulai mengeras. Beliau saat itu berada dirumah Sayyidah Maimunah ra.

Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Kumpulkanlah istri-istriku.”
Maka berkumpullah istri-istri beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda kepada mereka:” Apakah kalian mengizinkan aku untuk tinggal di rumah ‘Aisyah?” Maka mereka menjawab:” Kami mengizinkan anda wahai Rasulullah.”

Kemudian beliau berkeinginan untuk berdiri, akan tetapi beliau tidak mampu. Datanglah ‘Ali ibn Abi Thalib, dan al-Fadl ibn al-‘Abbas ra. Maka merekapun membopong Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu mereka memindahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kamar Maimunah ra menuju kamar ‘Aisyah ra.

Adapun para sahabat ra, baru pertama kali ini mereka melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dibopong di atas dua tangan. maka berkumpullah para sahabat ra dan mereka berkata:” Apa yang terjadi pada Rasulullah, apa yang terjadi pada Rasulullah?”

Mulailah manusia berkumpul di dalam masjid. Masjidpun mulai penuh dengan para sahabat ra.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dibawa menuju rumah ‘Aisyah ra.

Mulailah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mencucurkan keringat, berkeringat dan berkeringat.

Berkatalah ‘Aisyah ra:”Sungguh belum pernah aku melihat ada seorang manusia yg berkeringat deras seperti ini.” Maka dia mengambil tangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan dengannya dia mengusap keringat beliau.

(Maka mengapakah dia mengusap keringat dengan tangan beliau dan tidak mengusapnya dengan tangannya sendiri?)

‘Aisyah ra berkata:” Sesungguhnya tangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lebih lembut dan lebih mulia daripada tanganku, oleh karena itulah aku mengusap keringat beliau dengan tangan beliau dan tidak dengan tanganku.” (ini adalah sebuah penghormatan terhadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam)

‘Aisyah ra berkata:”Aku mendengar beliau berkata:”Laa Ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat, Laa Ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat.”

Mulailah suara-suara didalam masjid meninggi.

Bersabdalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:”Apa ini?”

Berkatalah ‘Aisyah ra: “Sesungguhnya manusia mengkhawatirkan anda wahai Rasulullah.”

Beliaupun bersabda: ”Bawalah aku kepada mereka.” Maka beliau berkehendak untuk bangun, akan tetapi tidak mampu. maka para sahabat menyiramkan tujuh qirbah (timba) air kepada beliau hingga beliau bangkit, dan membawa neliau naik ke atas mimbar.

Jadilah khutbah tersebut adalah khutbah terakhir beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, menjadi kalimat terakhir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan doa terakhir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Beliau bersabda:” Wahai manusia, kalian mengkhawatirkan aku?”

Mereka menjawab:” Ya, wahai Rasulullah.”

Bersabdalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:”Sesungguhnya tempat perjanjian kalian dengan aku bukanlah di dunia, tempat perjanjian kalian denganku adalah di haudh (telaga). Demi Allah, sungguh seakan-akan aku sekarang sedang melihat kepadanya di depanku ini. Wahai manusia, demi Allah, tidaklah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan adalah dibukanya dunia atas kalian, sehingga kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

Kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:”Allah Allah, shalat, Allah Allah, shalat.” (maksudnya; Aku bersumpah demi Allah terhadap kalian agar kalian menjaga shalat) beliau terus mengulang-ulangnya, lantas bersabda:” Wahai manusia, bertakwalah kalian terhadap kaum wanita, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap kaum wanita.”

Kemudian beliau bersabda:” Wahai manusia, sesungguhnya ada seorang hamba, yang Allah SWT telah memberikan pilihan kepadanya antara dunia dan antara apa yang ada di sisi-Nya, maka dia memilih apa yang ada di sisi-Nya.”

Tidak ada yang memahami siapakah yang dimaksud dengan seorang hamba oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tadi, padahal yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah diri beliau sendiri.

Allah SWT telah memberikan pilihan kepada beliau dan tidak ada seorangpun yang paham selain Abu Bakar ra.

Dan kebiasaan para sahabat ra, saat beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berbicara adalah mereka diam, seakan-akan ada seekor burung yang bertengger di atas kepala mereka.

Maka saat Abu Bakar ra mendengar perkataan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dia tidak mampu menguasai dirinya, dengan serta merta dia menangis dengan sesengukan, dan ditengah masjid dia memotong pembicaraan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dia berkata:

”Kami tebus anda dengan bapak-bapak kami wahai Rasulullah, kami tebus anda dengan ibu-ibu kami wahai Rasulullah, kami tebus anda dengan harta-harta kami wahai Rasulullah.” dia mengulang-ulangnya, sementara para sahabat ra melihat kepadanya dengan pandangan heran, bagaimana dia berani memotong khutbah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam?”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :”Wahai manusia, tidak ada seorangpun diantara kalian yg memiliki keutamaan di sisi kami melainkan kami telah membalasnya, kecuali Abu Bakar, aku tidak mampu membalasnya, maka aku tinggalkan balasannya kepada Allah SWT. Setiap pintu masjid ditutup kecuali pintu Abu Bakar ra tidak akan di tutup selamanya.”

Kemudian mulailah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berdo’a untuk mereka dan berkata pada akhir do’a beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sebelum wafat:

” Mudah-mudahan Allah menetapkan kalian, mudah-mudahan Allah menjaga kalian, mudah-mudahan Allah menolong kalian, mudah-mudahan Allah meneguhkan kalian, mudah-mudahan Allah menguatkan kalian, mudah-mudahan Allah menjaga kalian.”

Dan kalimat terkahir yang beliau sampaikan sebelum beliau turun dari atas mimbar sambil menghadapkan wajah beliau kepada ummat dari atas mimbar adalah:

” Wahai manusia sampaikanlah salamku kpd orang yg mengikutiku diantara ummatku hingga hari kiamat.”

Setelah itu beliaupun dibawa kembali ke rumah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Masuklah Abdurrahman ibn Abu Bakar, dan ditangannya ada sebatang siwak. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terus melihat kearah siwak tersebut, tetapi tidak mampu berkata aku menginginkan siwak.

‘Aisyah ra berkata:”Aku paham dari pandangan kedua mata beliau, bahwa beliau menginginkan siwak tersebut. Maka aku ambil siwak itu darinya (yakni Abdurrahman ibn Abu Bakar), kemudian aku letakkan dimulutku, agar aku melunakkannya untuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian aku berikan siwak tersebut kepada beliau. Maka sesuatu yang paling akhir masuk ke dalam perut Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah air ludahku.”

‘Aisyah ra berkata: ”Termasuk sebuah keutamaan dari Rabb-ku atasku adalah Dia telah mengumpulkan antara air ludahku dg air ludah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sebelum beliau wafat.”

Kemudian masuklah putrid beliau Fathimah ra pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul awal 11 H, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya.

Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.”

Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.

Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah ra: “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?”
Fathimah ra berkata:” Pertama kalinya beliau berkata kepadaku:” Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah, adalah keluargaku yg pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kpd seluruh manusia yg hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.

Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda:” Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.”

Beliau bersabda:” Mendekatlah kepadaku wahai ‘Aisyah!”
Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah ra. ‘Aisyah ra berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda:” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.”
Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.

Masuklah malaikat Jibril as menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.”

Maka beliau berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai Jibril.”

Masuklah malaikat Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.”

Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yg tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu : para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yg sebaik-baiknya.”

‘Aisyah ra menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a:
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.”

Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yg bagus, roh Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yg ridha dan tidak murka.”

Sayyidah ‘Aisyah ra berkata:”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.”

Dia ra berkata:”Aku tidak tahu apa yg harus aku lakukan, tidak ada yg kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yg disana ada para sahabat, dan kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.”

Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib ra terduduk karena beratnya kabar tersebut,

‘Ustman bin Affan ra seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri.

Adapun Umar bin al-Khaththab ra berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dg pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa as pergi untuk menemui Rabb-Nya.”

Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar ra, dia masuk kpd Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata: ”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”

Keluarlah Abu Bakar ra menemui manusia dan berkata:” Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.”

Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”

Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yg paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Ya Allah, berikanlah rizqi kepada kami, syafaat kekasih kami Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan satu teguk air yg menyegarkan dari haudh (telaga) beliau dg tangan beliau yg mulia.

Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad....

Selasa, April 28, 2009

Mendahulukan Islamic Values Bukan Group Values

Salah satu Khashoish Ad-Da’wah Al-Islamiyyah (Karakterisitik Da’wah Islam) ialah Islamiyyah qobla jamaa’iyyah yaitu mendahulukan Islamisasi sebelum Strukturalisasi. Artinya sebuah aktifitas da’wah Islam yang semestinya ialah aktifitas yang mengutamakan langkah-langkah penyebarluasan nilai-nilai Islam sebelum berfikir mengajak orang kepada organisasi da’wah. Hal ini selaras dengan karakteristik da’wah Islam lainnya yaitu Rabbaniyyah (keTuhanan). Sebab seorang da’i yang ingin mengajak orang ke jalan Allah atau jalan Rabbnya pastilah selalu mengutamakan islamisasi segala sesuatunya sebelum berfikir untuk mengajak orang ke grup atau kelompok da’wahnya.

Aktifis da’wah Islam sejatinya sangat memahami kedudukan Islam dan kedudukan organisasi. Islam merupakan hal pertama dan utama yang selalu ingin dia perjuangkan dan tegakkan dimanapun ia berada. Sedangkan organisasi bagi dirinya hanyalah sebatas sarana untuk dia menyalurkan upaya bekerjasama dengan para anggota lainnya dalam penegakkan nilai-nilai Islam tersebut. Oleh karenanya seorang da’i akan selalu menjadikan nilai-nilai Islam sebagai hal utama, sedangkan nilai-nilai organisasi sebagai hal selanjutnya dan itupun dalam rangka menyalurkan hal utamanya, yaitu nilai-nilai Islam. Oleh karenanya seorang da’i yang ikhlas akan selalu teliti dan waspada terhadap organisasi da’wah yang akan ia pilih untuk bergabung dan berkomitmen di dalamnya. Ia tidak akan serampangan dalam memilih suatu organisasi da’wah yang akan ia jadikan sarana perjuangannya dalam menegakkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam.

Seorang aktifis da’wah akan selalu mendahulukan Islamic values daripada Group Values yang diberlakukan di dalam organisasi da’wahnya. Bila ia dapati bahwa group values yang diberlakukan selaras dengan Islamic values yang ia perjuangkan, maka tanpa ragu ia pasti akan mendukung group values tersebut. Lalu bagaimana jika ia dapati bahwa group values organisasinya ternyata bertentangan dengan Islamic values yang ia yakini? Jika keadaannya seperti ini, maka ia tentu akan tetap mengutamakan Islamic values daripada group values-nya. Apakah itu berarti ia akan segera meninggalkan organisasi tersebut begitu ia dapati terjadinya pertentangan nilai tersebut? Tentu tidak. Sebab ada langkah-langkah koreksi yang mesti ia upayakan terlebih dahulu sebagai kewajiban seorang mslim terhadap muslim lainnya sesuai hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ
”Agama adalah nasihat.” (HR Muslim)

Bahkan Allah menggambarkan bahwa orang-orang yang tidak merugi dalam kaitan dengan waktu ialah mereka yang rajin saling menasihati (taushiah) satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran.


وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Ashr ayat 1-3)

Bila nasihat telah disampaikan lalu terjadi pelurusan maka ini merupakan hal yang terbaik. Berarti da’i tersebut telah menjalankan kewajibannya menyampaikan nasihat atau koreksi. Dan organisasi telah menjalankan kewajibannya pula yaitu menyesuaikan diri dengan nasihat atau koreksi yang dilakukan oleh anggota. Namun bila yang terjadi ialah sebaliknya, organisasi menolak untuk dikoreksi, berarti da’i tersebut telah gugur kewajibannya dalam hal memberi nasihat atau melakukan koreksi sedangkan organisasi telah memperlihatkan inkonsistensi-nya sebagai organisasi yang mengaku memperjuangkan nilai-nilai Islam. Selanjutnya sang aktifis sepatutnya tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam yang ia yakini kebenarannya dan tidak tunduk kepada nilai-nilai organisasi yang sudah jelas mengalahkan nilai-nilai Islam dan mendahulukan nilai-nilai kelompok. Sebab bila ia tunduk kepada group values dan mengalahkan Islamic values, berarti keterlibatannya di dalam organsisasi itu menjadi keterlibatan yang bersifat fanatisme kelompok alias taqlid buta. Sedangkan hal ini dilarang oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam.


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme kelompok/grup/golongan/partai/suku/bangsa/warna kulit/bahasa). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud 4456)

Yang menjadi kesulitan ialah seringkali seorang anggota organisasi bersikap kompromistis terhadap kekeliruan yang dilakukan oleh organisasinya dengan alasan bahwa ia tidak mau dikucilkan dari grupnya. Dan alasan ini biasanya tidak akan ia kemukakan secara terbuka. Alasan ini biasanya ia bungkus dengan alasan yang seolah bersifat syar’i, misalnya dengan mengambil atau menyitir dalil seperti:


وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi ayat 28)

Padahal pengutipan dalil ini semestinya dilakukan secara komprehensif tidak sepotong-sepotong. Dalam hal ini ia cenderung hanya mengambil bagian awalnya saja yaitu “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang.” Ia berhenti hanya sampai di batas ini.
Sehingga kesimpulan yang muncul ialah seolah ia harus selalu bersama orang-orang di dalam kelompok tersebut bagaimanapun keadaannya (baca: berjamaah). Padahal justru sisa ayat itu sangat menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang tidak patut ia tinggalkan. Dan diantaranya ialah ”orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”... Jika ini menjadi sifat-sifat mereka tentunya mereka akan tetap mendahulukan Islamic values terhadap group values, sebab orang yang mengharap keridhaan Allah niscaya mendahulukan nilai-nilai Rabbani daripada nilai-nilai ashobiyyah (fanatisme kelompok). Apalah artinya sebuah kebersamaan jika tidak terikat dan diikat oleh tali Allah? Sebab Allah menyuruh kita hanya memilih kebersamaan yang berlandaskan ikatan kepada tali Allah atau berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. Semua bentuk kebersamaan selain itu akan menghantarkan kepada celaka dan bencana.


وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

Sangat jelas ayat ini menyuruh kita hanya menjalin kebersamaan berlandaskan ikatan kepada tali Allah semata. Jika tidak, maka bercerai berai akan menjadi konsekuensi logis. Bila suatu kelompok memproklamirkan diirinya sebagai sebuah kelompok berlandaskan Islam, namun dalam prakteknya ia meninggalkan dan menanggalkan ideologi Islam dan mengambil ideologi lainnya sebagai perekat, baik itu bersama dengan ideologi Islam maupun tidak, maka bercerai berai merupakan konsekuensi logis yang Allah telah peringatkan bakal terjadi.


الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

Di hari berbangkit kelak Allah pasti akan memelihara keakraban kita sebagaimana sewaktu di dunia jika kita menjalin keakraban sewaktu di dunia dengan landasan iman dan taqwa semata. Bahkan melalui ayat di atas Allah mengancam bakal terjadi permusuhan di kalangan orang-orang yang sewaktu di dunia saling menjalin keakraban namun bukan dengan landasan ketaqwaan kepada Allah. Sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam pernah menggambarkan sifat orang-orang yang memperoleh kedudukan sedemikian mulia dan dekatnya kepada Allah sehingga menimbulkan kecemburuan para Nabi dan para Syuhada sebagai berikut;


هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللَّهِ وَتَصَافَوْا يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا وَثِيَابَهُمْ نُورًا يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَفْزَعُونَ وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
”Mereka adalah kumpulan manusia dari aneka latar belakang dan aneka suku (bangsa, warna kulit, bahasa, kelompok, golongan, harokah, jamaah, partai), mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka satu sama lain. Mereka saling mencinta hanya karena Allah. Allah akan mendudukkan mereka di atas mimbar-mimbar dari cahaya, wajah-wajah mereka bercahaya, dan pakaian mereka bercahaya. Manusia merasa ketakutan pada hari kiamat sementara mereka tidak ketakutan. Mereka merupakan wali-wali Allah yang tidak ada rasa takut atas mereka dan merekapun tidak bersedih hati.” (HR Ahmad)

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu. Persatukanlah hati kami dengan orang-orang beriman yang selalu mendahulukan nilai-nilai diinMu Al-Islam daripada nilai-nilai kelompok. Bersihkanlah hati kami dari berbagai virus ashshobiyyah (fanatisme kelompok, golongan, jamaah, harokah, partai, suku maupun bangsa).

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR


Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.

Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan. Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
  1. Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
  2. Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.
  3. Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit.

Futur [1] memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Di antara sebab-sebab itu adalah:

  1. Hilangnya keikhlasan.
  2. Lemahnya ilmu syar’i.
  3. Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
  4. Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
  5. Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
  6. Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
  7. Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
  8. Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
  9. Lemahnya iman.
  10. Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
  11. Lemahnya pendidikan.

[2]Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah:

  1. Memperbaharui keimanan. Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
  2. Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
  3. Ikhlas dan takwa.
  4. Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
  5. Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
  6. Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
  7. Mencari teman yang baik (shalih).
  8. Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
  9. Sabar dan belajar untuk sabar.
  10. Berdo’a dan memohon pertologan Allah.

[3]PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN

Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa.

Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal.

Lihatlah bagaimana keadaannya semula.

Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.

Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]

__________

Foote Notes

[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).

[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).

[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.

[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279

Jumat, April 24, 2009

Loyalitas Dalam Islam (Al-Wala’) (bag. 3)

Dakwatuna

Konsep al-wala’ -loyalitas- dalam akidah Islam harus dipahami oleh setiap muslim apabila ingin benar-benar menegakkan nilai-nilai Islam dalam ruang kehidupannya. Muslim yang tidak mengenal dan memahami akidah ini akan terombang-ambing dalam gelombang al-wala’ yang tidak jelas, bahkan ia akan menjadikan musuh-musuh Islam sebagai kekasih-kekasihnya.

Kalimat syahadat terdiri nafi (la) manfi (ilaha), itsbat (illa) dan mutsbit (Allah)

1. Laa Ilaha Illa Allah.

  • a. Laa (tidak ada - penolakan)

Kata penolakan yang mengandung pengertian menolak semua unsur yang ada di belakang kata tersebut.

  • b. Ilaha (sembahan - yang ditolak)

Sembahan yaitu kata yang ditolak oleh laa tadi, yaitu segala bentuk sembahan yang bathil (lihat A3). Dua kata ini mengandung pengertian bara’ (berlepas diri).

  • c. Illa (kecuali - peneguhan)
Kata pengecualian yang berarti meneguhkan dan menguatkan kata di belakangnya sebagai satu-satunya yang tidak ditolak.

  • d. Allah (yang diteguhkan atau yang dikecualikan)
Kata yang dikecualikan oleh illa. Lafzul Jalalah (Allah) sebagai yang dikecualikan.

Dalil:

  • Q.16: 36, inti dakwah para Nabi adalah mengingkari sembahan selain Allah dan hanya menerima Allah saja sebagai satu-satunya sembahan.

  • Q.4: 48, 4: 116, bahaya menyimpang dari Tauhid. Syirik merupakan dosa yang tidak diampuni.

  • Q.47: 19, dosa-dosa manusia diakibatkan kelalaian memahami makna tauhid.

  • Q.7: 59,65,73, beberapa contoh dakwah para nabi yang memerintahkan pengabdian kepada Allah dan menolak ilah-ilah yang lain.

Hadits : Ikatan yang paling kuat dari pada iman adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

Hadits : Bara’ng-siapa yang mencintai karena Allah,membenci karena Allah, memberi karena Allah dan melarang karena Allah, maka ia telah mencapai kesempurnaan Iman.

2. Bara’ (pembebasan).

Merupakan hasil kalimat Laa ilaha illa yang artinya membebaskan diri daripada segala bentuk sembahan. Pembebasan ini berarti: mengingkari, memisahkan diri, membenci, memusuhi dan memerangi. Keempat perkara ini ditunjukkan pada segala ilah selain Allah samada berupa sistem, konsep maupun pelaksana.

Dalil:

  • Q.60: 4, contoh sikap bara’ yang diperlihatkan Nabi Ibrahim AS dan pengikutnya terhadap kaumnya. Mengandung unsur mengingkari, memisahkan diri, membenci dan memusuhi.

  • Q.9: 1, sikap bara’ berarti melepaskan diri seperti yang dilakukan oleh Rasul terhadap orang-orang kafir dan musyrik.

  • Q.47: 7, sikap bara’ adalah membenci kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan.

  • Q.58: 22, sikap bara’ dapat diartikan juga memerangi dan memusuhi meskipun terhadap familinya. Contohnya Abu Ubaidah membunuh ayahnya, Umar bin Khattab membunuh bapa saudaranya, sedangkan Abu Bakar hampir membunuh putranya yang masih musyrik. Semua ini berlangsung di medan perang.

  • Q.26: 77, Nabi Ibrahim menyatakan permusuhan terhadap berhala-berhala sembahan kaumnya.

3. Hadam (penghancuran).

Sikap bara’ dengan segala akibatnya melahirkan upaya menghancurkan segala bentuk pengabdian terhadap tandingan-tandingan maupun sekutu-sekutu selain Allah, apakah terhadap diri, keluarga maupun masyarakat.

Dalil:

  • Q.21: 57-58, Nabi Ibrahim berupaya menghancurkan berhala-berhala yang membodohi masyarakatnya pada masa itu. Cara ini sesuai pada masa itu tetapi pada masa Rasulullah, Rasul Saw menghancurkan akidah berhala dan fikrah yang menyimpang terlebih dahulu. Setelah fathu Mekkah, kemudian 360 berhala di sekitar Ka’bah dihancurkan oleh Rasul.

4. Al Wala’ (loyalitas).

Kalimat Illa Allah berarti pengukuhan terhadap wilayatulLlah (kepemimpinan Allah). Artinya: selalu mentaati, selalu mendekatkan diri, mencintai sepenuh hati, dan membela, mendukung dan menolong. Semua ini ditujukan kepada Allah dan segala yang diizinkan Allah seperti Rasul dan orang yang beriman.

Dalil:

  • Q.5: 7, 2: 285, Iman terhadap kalimat suci ini berarti bersedia mendengar dan taat.

  • Q.10: 61,62, jaminan Allah terhadap yang menjadi wali (kekasih) Allah karena selalu dekat kepada Nya.

  • Q.2: 165, wala’ kepada Allah menjadikan Allah sangat dicintai, lihat 9: 24.

  • Q.61: 14, sebagai bukti dari wala’ adalah selalu siap mendukung atau menolong dien Allah.

5. Al Bina (membangun).

Sikap wala’ beserta segala akibatnya merupakan sikap mukmin membangun hubungan yang kuat dengan Allah, Rasul dan orang-orang mukmin. Juga berarti membangun sistem dan aktivitas Islam yang menyeluruh pada diri, keluarga, maupun masyarakat.

Dalil:

  • Q.22: 41, ciri mukmin adalah senantiasa menegakkan agama Allah.
  • Q.24: 55, posisi kekhilafahan Allah peruntukkan bagi manusia yang membangun dienullah.
  • Q.22: 78, jihad di jalan Allah dengan sebenarnya jihad adalah upaya yang tepat membangun dienullah.

6. Ikhlas.

Keikhlasan yaitu pengabdian yang murni hanya dapat dicapai dengan sikap bara’ terhadap selain Allah dan memberikan wala’ sepenuhnya kepada Allah.

Dalil:

  • Q.98: 5, mukmin diperintah berlaku ikhlas dalam melakukan ibadah.

  • Q.39: 11,14, sikap ikhlas adalah inti ajaran Islam dan pengertian dari Laa ilaha illa Allah.

7. Muhammad Rasulullah.

Konsep Wala’ dan Bara’ ditentukan dalam bentuk:

Allah sebagai sumber. Allah sebagai sumber wala’, dimana loyalitas mutlak hanya milik Allah dan loyalitas lainnya mesti dengan izin Allah.

Rasul sebagai cara (kayfiyat). Pelaksanaan Wala’ terhadap Allah dan Bara’ kepada selain Allah mengikuti cara Rasul.

Mukmin sebagai pelaksana. Pelaksana Wala’ dan Bara’ adalah orang mukmin yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah.

Dalam pelasaksanaan Bara’, Rasulullah memisahkan manusia atas muslim dan kafir. Hizbullah dengan Hizbus Syaithan. Orang-orang mukmin adalah mereka yang mengimani Laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah sedangkan orang kafir adalah mereka yang mengingkari salah satu dari dua kalimah syahadat atau kedua-duanya.

Orang-orang beriman wajib mengajak orang kafir kepada jalan Islam dengan dakwah secara hikmah dan pengajaran yang baik. Apabila mereka menolak, kemudian menghalangi jalan dakwah maka mereka boleh diperangi sampai mereka mengakui ketinggian kalimah Allah.

Hubungan kekeluargaan seperti ayah, ibu, anak tetap diakui selama bukan dalam kemusyrikan atau maksiat terhadap Allah.

Dengan demikian pelaksanaan Wala’ dan Bara’ telah ditentukan caranya. Kita hanya mengikut apa yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.

Dalil:

  • Q.5: 55-56, Allah, Rasul dan orang-orang mukmin adalah wali orang yang beriman.

  • Q.4: 59, ketaatan diberikan hanya kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri dari kalangan mukmin.

  • Q.5: 56, orang-orang yang memberikan wala’ kepada Allah, Rasul dan orang-orang mukmin adalah Hizbullah (golongan Allah), lihat pula 58: 22. Selain golongan ini adalah Hizbus Syaithan.

  • Q.60: 7-9, kebolehan bergaul dengan orang kafir dengan batas-batas tertentu. Asbabun Nuzul ayat ini berkaitan dengan Asma binti Abu Bakar yang tidak mengizinkan ibunya masuk rumahnya sebelum mendapat izin dari Rasulullah, lihat pula 31: 15

Penutup

Oleh karena itu, konsep al-wala’ dalam akidah Islam harus dipahami oleh setiap Muslim apabila ingin benar-benar menegakkan nilai-nilai Islam dalam ruang kehidupannya. Muslim yang tidak mengenal dan memahami akidah ini akan terombang-ambing dalam gelombang samudera al-wala’ yang tidak jelas, dan ia akan menjadikan musuh-musuh Islam sebagai kekasih-kekasihnya. Akhirnya, ia cenderung mendukung apa saja yang dilakukan musuh-musuh Islam dan membenci bahkan menyalahkan kaum Muslimin, seperti kasus Ambon, Poso, Palestina, dan yang lainnya. Maka, dengan memahami konsep al-wala’ semakin jelaslah posisi yang hak dan batil: mana yang menjadi musuh dan mana yang menjadi sahabat; mana yang menjadi lawan dan mana yang menjadi kawan.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Loyalitas dalam Islam (Al-Wala’) - 2

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits, aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan suatu kewajiban yang harus ditegakkan dalam syariat Islam. Ia merupakan salah satu konsekuensi dan syarat sahnya syahadat. Seorang Muslim tidak mungkin lepas dari akidah ini dalam setiap dimensi kehidupannya. Ia harus mencintai Allah SWT, Rasul, dan hamba-hamba yang beriman, dengan segala pengorbanannya. Pada saat yang sama, ia harus menegakkan permusuhan terhadap kekufuran dan manusia-manusia yang mendukung kekufuran tersebut.

Perhatikan ayat-ayat Allah berikut ini.

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Bara’ngsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran: 28)

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22)

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘Alaih)


مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

"Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal (merasa tenang) dengannya, maka ia sama dengannya.” (HR Abu Daud dari Samurah bin Jundub)

Hak-Hak Loyalitas


Ada beberapa hak yang berkaitan dengan akidah al-wala’ dalam syariat Islam, sebagaimana penjelasan berikut.


Pertama, hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi orang yang lemah atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa: 97-99)

Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di manapun ia berada dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah berfirman, :


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Anfal: 72)


الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagian menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)


انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

Tolonglah saudara kamu baik yang melakukan kezhaliman atau yang dizhalimi.” (HR Bukhari)
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)

Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum Muslimin. Rasulullah saw. bersabda, :


مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan berjaga.” (HR Bukhari)

Keempat, hendaklah ia mencintai saudara Muslim sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka.

Kelima, tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ber-ghibah serta menyebarkan namimah terhadap sesama kaum Muslimin.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)yang buruk sesudah iman, dan bara’ngsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11-12)

Yang dimaksud dengan ‘jangan mencela dirimu sendiri’ ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Dan ‘panggilan yang buruk’ ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti “Hai, Fasik”, “Hai, Kafir,” dan sebagainya.

Keenam, mencintai kaum Muslimin dan berusaha untuk berkumpul bersama mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Adalah wajib bagiku mencintai orang-orang yang saling menziarahi.” (HR Ahmad)

“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR At-Thabrani)

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Ketujuh, melakukan apa saja yang menjadi hak kaum Muslimin, seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan lainnya. Rasulullah saw. bersabda, :

“Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR Muslim)


حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada enam.” Ada yang bertanya, ‘Apa saja ya Rasululllah?’ Beliau menjawab, bila kamu berjumpa dengannya ucapkan salam, jika ia mengundangmu penuhilah, jika ia meminta nasihat kepadamu nasihatilah, jika ia bersin dan memuji Allah hendaknya kamu mendoakannya, dan jika ia sakit jenguklah, dan jika ia mati antarkanlah jenazahnya….” (HR Muslim)

Kedelapan, bersikap lembut terhadap Muslimin, mendoakan dan memohonkan ampun bagi mereka. Allah berfirman, :

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari kemungkaran, serta menasihati mereka.


الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya, ‘Untuk siapakah, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, Rasul, kitab-kitab, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk mereka semua.’” (HR Muslim)


مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; maka apabila tidak mampu hendaklah (ia lakukan) dengan lisannya; dan apabila tidak mampu, hendaklah (ia lakukan) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan rahasia mereka kepada musuh-musuh Islam.

“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan mereka…” (Al-Hujurat: 12)

Kesebelas, bergabung ke dalam jamaah kaum Muslimin dan tidak berpisah dengan mereka.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Kedua belas, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)


Allahu A’lam

Kamis, April 23, 2009

Loyalitas dalam Islam (Al-Wala’) - 1

Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh karena iman bukan sekadar pengakuan kosong dan “lip service” belaka, tanpa mampu memberikan pengaruh dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya. Seorang Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang. Perhatikan firman Allah berikut ini.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (al-Maa`idah: 54-55)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka, janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisaa`: 89)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maa`idah: 51)

Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.

Definisi

Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.

“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)

Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’.
Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)

“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 45)

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

Dalam terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang Mukmin yang ber-wala’ kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu dengan penuh komitmen.

Kedudukan Aqidah Wala’

Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.
Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada Allah.

Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl: 30)

Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,

Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam Musnadnya dari al-Bara’ bin ‘Azib)

Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah saw. bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)

Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)

Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda,

الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ
Orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku (Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat di mana para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi)

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)
Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

Ketujuh, mendapatkan walayatullah.

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Allah berfirman,

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” Al-Baqarah:166.

Rabu, April 22, 2009

MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT

A. Makna Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Yaitu beritikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari yang selain Allah, siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.

Jadi kalimat ini secara ijmal (global) adalah, "Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah." Khabar Laa ilaaha illallah harus ditaqdirkan bihaqqin (yang haq), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujud (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab Tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebatilan yang nyata.

Kalimat laa ilaaha illallah telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:

Laa ilaaha illallah artinya: "Tidak ada sesembahan kecuali Allah." Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.

Laa ilaaha illallah artinya:"Tidak ada pencipta selain Allah." Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.

Laa ilaaha illallah artinya: "Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah." Ini juga sebagian dari makna kalimat laa ilaaha illallah. Tapi bukan ini yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.

Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ilaaha illallah ma'buuda bihaqqin illallah (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tersebut di atas.

B. Makna Syahadat Anna Muhammadan Rasuulullah

Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: mentaati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari'atkan.

KEPENTINGAN DUA KALIMAT SYAHADAT (AHAMMIYATU SYAHADATAIN)

Kepentingan syahadat (ahamiyah syahadah) perlu ditegaskan agar dapat betul-betul memahami syahadah secara konsep dan aplikasinya. Kenapa syahadah penting karena dengan bersyahadah seseorang boleh menyebutkan dirinya sebagai muslim, syahadah sebagai pintu bagi masuknya seseorang kedalam Islam. Kefahaman seorang muslim dapat melakukan perubahan-perubahan individu, keluarga ataupun masyarakat. Dalam sejarah para nabi dan rasul, syahadah sebagai kalimah yang diperjuangkan dan kalimah inilah yang menggerakkan dakwah nabi dan rasul. Akhir sekali, dengan syahadah tentunya setiap muslim akan mendapatkan banyak pahala dan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Hasyiah

1. Ahamiyah Syahadah (kepentingan bersyahadah).

Syahadatain adalah rukun Islam yang pertama. Kepentingan syahadah ini karena syahadah sebagai dasar bagi rukun Islam yang lain dan bagi tiang untuk rukun Iman dan Dien. Syahadatain ini menjadi ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Oleh sebab itu, sangat penting syahadah dalam kehidupan setiap muslim. Sebab-sebab kenapa syahadah penting bagi kehidupan muslim adalah :

  • Pintu masuknya Islam
  • Intisari ajaran Islam
  • Dasar-dasar perubahan menyeluruh
  • Hakikat dakwah para rasul
  • Keutamaan yang besar
2. Madkhol Ila Islam (pintu masuk ke dalam Islam).

Sahnya iman seseorang adalah dengan menyebutkan syahadatain. Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadatain . Syahadatain membedakan manusia kepada muslim dan kafir

Pada dasarnya setiap manusia telah bersyahadah Rubbubiyah di alam arwah, tetapi ini sahaja belum cukup, untuk menjadi muslim mereka harus bersyahadah Uluhiyah dan syahadah Risalah di dunia.

Dalil :

  1. Hadits : Rasulullah SAW memerintahkan Mu'az bin Jabal untuk mengajarkan dua kalimah syahadah, sebelum pengajaran lainnya.

  2. Hadits : Pernyataan Rasulullah SAW tentang misi Laa ilaha illa Allah dan kewajiban manusia untuk menerimanya.

  3. QS.47 : 19, Pentingnya mengerti, memahami dan melaksanakan syahadatain. Manusia berdosa akibat melalaikan pemahaman dan pelaksanaan syahadatain.

  4. QS.37 : 35, Manusia menjadi kafir karena menyombongkan diri terhadap Laa ilahailla Allah.

  5. QS.3 : 18, Yang dapat bersyahadat dalam arti sebenarnya adalah hanya Allah, para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yaitu para Nabi dan orang yang beriman kepada mereka.

  6. QS.7 : 172, Manusia bersyahadah di alam arwah sehingga fitrah manusia mengakui keesaan Allah. Ini perlu disempurnakan dengan syahadatain sesuai ajaran Islam

3. Kholaso Ta'lim Islam (kefahaman muslim terhadap Islam).

Kefahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada kefahamannya pada syahadatain. Seluruh ajaran Islam terdapat dalam dua kalimah yang sederhana ini.

Ada 3 hal prinsip syahadatain :

  1. Pernyataan Laa ilaha illa Allah merupakan penerimaan penghambaan atau ibadah kepada Allah sahaja. Melaksanakan minhajillah merupakan ibadah kepadaNya.

  2. Menyebut Muhammad Rasulullah merupakan dasar penerimaan cara penghambaan itu dari Muhammad SAW. Rasulullah adalah tauladan dalam mengikuti Minhajillah.

  3. Penghambaan kepada Allah meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakatnya.
Dalil :


  • QS.2:21, 51:56, Ma'na Laa ilaha illa Allah adalah penghambaan kepada Allah.
    21:25, Rasul diutus dengan membawa ajaran tauhid.

  • QS.33:21, Muhammad SAW adalah tauladan dalam setiap aspek kehidupan.
    3:31, aktifiti hidup hendaknya mengikuti ajaran Muhammad SAW.

  • QS.6:162, Seluruh aktiviti hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan kepada mengabdi Allah SWT sahaja.

  • QS.3:19, 3:85, 45:18, 6:153, Islam adalah satu-satunya syariat yang diredhai Allah. Tidak dapat dicampur dengan syariat lainnya.

4. Asasul Inqilab (dasar-dasar perubahan).

Syahadatain mampu manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu atau masyrakat.

Ada perbedaan penerimaan syahadatain pada generasi pertama umat Muhammad dengan generasi sekarang. Perbedaan tersebut disebabkan kefahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pengertian, sikap konsisten terhadap syahadah tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima maupun menolak.

Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi takwa dan abid, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan Allah.

Syahadatain dapat merubah masyarakat dahulu maka syahadatain pun dapat merubah umat sekarang menjadi baik.

Dalil :

  • QS.6:122, Penggambaran Allah tentang perubahan yang terjadi pada para sahabat Nabi, yang dahulunya berada dalam kegelapan jahiliyah kemudian berada dalam cahaya Islam yang gemilang.

  • QS.33:23, Perubahan individu contohnya terjadi pada Muz'ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan yang glamour di kota Mekkah tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda sederhana yang da'i, duta rasul untuk kota Madinah. Kemudian menjadi syuhada Uhud. Saat syahidnya rasulullah membacakan ayat ini.

  • QS.37:35-37, reaksi masyarakat Quraisy terhadap kalimah tauhid. 85:6-10, reaksi musuh terhadap keimanan kaum mukminin terhadap Allah 18:2, 8:30, musuh memerangi mereka yang konsisten dengan pernyataan Tauhid.

  • Hadits : Laa ilaha illa Allah, kalimat yang dibenci penguasa zalim dan kerajaan.

  • Hadits : Janji Rasul bahawa kalimah tauhid akan memuliakan kaumnya.

5. Haqiqat Dakwah Rasul

Setiap Rasul semenjak nabi Adam AS hingga nabi besar Muhammad SAW membawa misi dakwahnya adalah syahadah. Makna syahadah yang dibawa juga sama iaitu laa ilaha illa Allah. Dakwah rasul senantiasa membawa umat kepada pengabdian Allah sahaja.

Dalil :

  • QS.60:4, Nabi Ibrahim berdakwah kepada masyarakat untuk membawanya kepada
    pengabdian Allah sahaja.

  • QS.18:110, Para nabi membawa dakwah bahawa ilah hanya satu iaitu Allah sahaja.

6.Fadailul A'dhim (ganjaran yang besar)

Sarahan :

Banyak ganjaran-ganjaran yang diberikan oleh Allah dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Ganjaran dapat berupa material ataupun moral. Misalnya kebahagiaan di dunia dan akhirat, rezeki yang halal dan keutamaan lainnya. Keutamaan ini selalu dikaitkan dengan aplikasi dan implikasi syahadah dalam kehidupan sehari-hari. Dielakkannya kita dari segala macam kesakitan dan kesesatan di dunia dan diakhirat.

Dalil :
  • QS: Allah SWT memberikan banyak keutamaan dan kelebihan bagi yang bersyahadah.

  • Hadits: Allah SWT akan menghindarkan neraka bagi mereka yang menyebut kalimah syahadah.
Ringkasan Dalil :

Kepentingan syahadatain : (Q.4:41, 2:143)
- Pintu masuk ke dalam Islam : (a)
- Intisari ajaran Islam : (b, 21:25)
- Dasar-dasar perubahan total : (6:122, 13:11) pribadi dan masyarakat
- Hakikat dakwah para rasul as. : (21:25, 3:31, 6:19, 16:36)
- Kelebihan yang besar

Pustaka
Kitab Tauhid 1", Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Penerbit: Darul Haq, Jakarta. Cetakan Kedua, Rajab 1420 H/Oktober 1999 M, hal.52-53)

URGENSI SYAHADAT

Urgensi (pentingnya) syahadat dalam kehidupan seorang muslim karena syahadat sebagai dasar bagi rukun Islam, ia menjadi ruh, inti landasan seluruh ajaran Islam. Berikut ini kami akan sedikit mengulas beberapa sebab mengapa syahadat begitu penting bagi kehidupan seorang muslim.

1. Pintu Masuk ke Dalam Islam (Madkholul ilal Islam)

Diterimanya iman dan amal seseorang adalah dengan pernyataan syahadatain. Tanpa mengucapkan kalimat syahadat maka amal yang dikerjakan bagaikan abu atau fatamorgana yang terlihat tapi tidak ada. Karena ia adalah pembeda antara keimanan dan kekufuran. Allah berfirman dalam. “Dan Kami menghadap kepada apa yang mereka telah kerjakan dari amal (baik), lalu Kami jadikan dia debu yang berterbangan.” (QS 25:23)

Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadat. Pada dasarnya setiap manusia telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka ketika di dalam rahim, Allah berfirman:“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS 7:172).

Pengakuan atas keesaan Allah SWT ini perlu disempurnakan di dunia dengan mengucapkan, memahami dan melaksanakan syahadatain sesuai dengan ajaran Islam.

2. Intisari Ajaran Islam (Khulashotul taálimul Islam)

Pemahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada pemahaman pada syahadatain. Ketika seorang memahami makna syahadat dengan benar dan mengetahui tuntutan syahadat itu, sesungguhnya ia telah memahami intisari ajaran islam. Karena di dalam dua kalimat sederhana ini mengandung tiga hal penting.

Pertama: Pernyataan Laa Ilaaha illa Allah merupakan penerimaan penghambaan kepada Allah SWT saja. Wujud penyerahan diri seorang hamba hanya kepada Allah saja yang menciptakan manusia. Allah berfirman : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (QS 51:56)

Kedua: Pernyataan Muhammad Rasulullah merupakaan pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, teladan dan panutan dalam mengikuti aturan Allah. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah..” QS 33:21.

Ketiga: Penghambaan kepada Allah SWT meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakatnya. Seluruh aktifitas hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan mengabdi kepada Allah SWT saja.

Allah berfirman: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” QS 6:153

3. Dasar Perubahan (Asasul inqilab)

Syahadatain mampu merubah manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu maupun masyarakat. Ada perbedaan penerimaan syahadat pada generasi pertama umat muhammad dengan generasi sekarang. Perbedaan tersebut disebabkan pemahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pemaknaan, serta sikap konsisten terhadap syahadat tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima maupun menolak.

Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi takwa dan ahli ibadah, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan AllahSWT.

Perubahan individu contohnya terjadi pada Mush’ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah Rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan glamour di kota Mekkah. Tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda yang sederhana, sebagai dai Rasul untuk kota Madinah. Yang kemudian syahid pada peperangan Uhud.

Beberapa reaksi masyarakat Quraisy terhadap kalimat tauhid sangat beragam. Mereka yang menggunakan akalnya akan dapat mudah menerima kalimat tauhid tetapi sebaliknya mereka yang menggunakan hawa nafsu serta adanya berbagai kepentingan akan menyulitkan mereka memahami kalimat tauhid. Allah berfirman : “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illa Allaah (Tiada Tuhan melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami gila?” Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan Rasul-rasul sebelumnya.” (QS 37:35-37)

4. Hakikat Dakwah para Rasul (Haqiqotu Da'wati Rasul)

Setiap Rasul semenjak Nabi Adam AS hingga nabi besar Muhammad SAW membawa misi dakwah yang sama yaitu Tauhid. Dakwah Rasul senantiasa membawa umat kepada pengabdian terhadap Allah SWT saja. Allah berfirman: “Katakanlah! Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS 18:110)

5. Memiliki Keutamaan yang Besar (Fadhoilul Adziim)

Banyak ganjaran dan pahala yang diberikan oleh Allah SWT dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Keutamaan ini selalu dikaitkan dengan aplikasi dan implikasi syahadat dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan yang paling besar Adalah surga Allah. Rosulullah mengatakan : “Dua perkara yang pasti”. Maka seorang sahabat bertanya, Apakah perkara itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia akan masuk surga (HR Ahmad)

Selasa, April 21, 2009

Pengajian Tarbiyah Vs Pengajian Habaib

Pertanyaan
Assalamulaikum wr wb, Pak Ustadz yang saya kagumi,

Saya ikut pengajian tarbiyah (yang identik dengan salah satu partai). Kemudian beberapa minggu lalu, kakak dan ibu saya melarang untuk ikut pengajian tersebut, dengan alasan diluar "aqidah keluarga." Memang keluarga saya identik dengan salah satu organisasi Islam yang sudah lama mengklaim ahli sunnah waljama'ah (dengan tradisi tahlil, maulid, ziarah kubur, dan lain-lain)

Walaupun saya ragu apa ibu dan kakak tahu apa arti 'ahlisunnah waljma'ah' di samping itu juga kakak saya punya back ground politik yang berbeda dengan saya karena dia orang pemda DKI yang notabene berbeda dengan siapa yang dukung.

Dia juga ikut pengajian habaib (yang mengaku punya ajaran berhubungan jelas dengan keturunan Rasulullah SAW). Untuk sementara saya tidak ngaji dulu, tapi hati saya masih ingin ikut halaqohan lagi. Pak ustadz mohon bimbingannya, apa yang saya lakukan untuk bisa mengaji lagi? Jujur, saya ingin sekali bertukar pikiran dengan anda apakah saya boleh tahu no telp ustad? (hp/rumah)

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Barangkali pengajian tarbiyah yang anda katakan identik dengan partai adalah PKS. Memang selama masa 'panas' menjelang pilkada DKI kemarin, ada sedikit ketenggangan yang meruncing. Teman-teman kita di PKS serasa mendapatkan 'fitnah' karena dikatakan sebagai GAM (Gerakan Anti Maulid).

Dan tudingan ini memang lumayan bisa mematahkan simpul-simpul kekuatan PKS terutama di masyarakat betawi yang memang aktifis maulid, tahlilan, ziarah kubur dan seterusnya.

Dan kenyataannya, para aktifis di PKS memang jarang yang bertradisi demikian, meski tidak ada bukti bahwa mereka menolak atau memerangi tradisi itu secara frontal. Bahkan boleh dibilang mereka cukup toleran dengan urusan yang satu itu, meski belum tentu bisa kalau disuruh melakukannya.

Sebab para petinggi PKS umumnya memang bukan dari kalangan betawi yang kental dengan tradisi maulidan, tahlilan dan seterusnya.

Kebetulan seperti ini nampaknya dimanfaatkan oleh para 'lawan' politik PKS saat itu, sehingga di hampir semua even maulid, pengajian, majelis taklim dan juga pidato para kiyai betawi termasuk para habaibnya juga, selalu dihembuskan bahwa PKS itu anti maulid.

"Hati-hati dengan PKS, karena aqidahnya berbeda dengan kita. Mau dibawa ke mana anak-anak kita oleh PKS?", itu salah satu peringatan yang kerap kita dengar.

Dan urusan maulid, tahlilan, ziarah kubur, baca Yaasiin dan sejenisnya, buat orang betawi adalah harga mati. "Mendingan ditabokin ame cina dari pade kite kaga bole muludan", begitu komentar para pak haji kalanganbetawi dengan dialek yang khas.

Sebenarnya, kalau masing-masing pihak bisa duduk dengan kepala dingin, tidak perlu terjadi hal-hal demikian. Tidak perlu ada tuduhan sebagai GAM dan tidak perlu PKS merasa dikucilkan dan dikeroyok beramai-ramai. Dan orang tua anda tidak perlu melarang-larang anaknya ikut halaqohan. Asalkan semangat ukhuwah lebih menonjol dari pada kepentingan golongan dan kelompok.

PKS sebenarnya tidak anti maulid, tidak pernah ada dokumen dari (DSP) Dewan Syariah Pusat tentang haramnya atau penolakan mereka terhadap maulid dan sejenisnya. Bahkan fatwa-fatwa dari DSP memberikan keluasan bagi para kader untuk ikut dalam berbagai even semacam tahlilan.

Kalau pun ada sebagian kader PKS yang tidak mau melakukannya, ketahuilah bahwa kader PKS terdiri dari berbagai jenis kelompok. Ada NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya. Bahkan yang dari kalangan habaib juga ada, senior pula. Beliau adalah Dr. Salim Segaf Aljufri, yang kini sedang menjabat duta besar di Saudi Arabia. Jadi istilah GAM untuk PKS agaknya memang kurang tepat.

Maka tidak ada salahnya bagi kader PKS, terutama yang bukan dari kalangan Persis atau Muhammadiyah, untuk ikut dalam berbagai even masyarakat betawi. Baik maulid, tahlil, pengajian atau apapun yang memang masih menjadi khilaf di kalangan ulama.

Dan khususnya untuk pengajian kalangan betawi. Sebab para kiyai betawi itu banyak yang 'alim, berilmu mendalam dan luas. Toh ilmu tidak hanya terdapat dari internal partai saja, juga bukan hanya dari ustadz PKS semata. Banyak jenis ilmu-ilmu keIslaman yang pakarnya tidak ada di dalam barisan petinggi PKS.

Sekarang ini waktunya untuk berdamai. Ishlah antara dua kekuatan umat yang sempat retak wajib dilaksanakan.

Semua fitnah, tuduhan, tudingan, caci maki, gunjingan dan silap lidah yang kemarin sempat menggembirakan syetan, sudah saatnya dihentikan. Diganti dengan salam perdamaian, duduk bersama, saling sayang, saling isi, saling bantu, saling dukung dan saling bekerjasama erat.

Tidak ada perbedaan aqidah selama ini. Semua penganut ahlussunnah wal jamaah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kecuali bisikan syetan yang terkutuk yang terkadang terselip di dalam hati yang kotor.

Kalau umat Islam di Jakarta ini bersatu, baik para ustadz, kiyai, habaib, kader PKS dan semua elemen lainnya, maka yang bersedih hanya satu, yaitu syetan. Tapi kalau masing-masing saling cakar-cakaran ngeributin yang tidak jelas, maka syetan pun menari-nari kegirangan. Kalau mau dicari-cari, perbedaan pasti ada.

Tapi ketahuilah bahwa kita lebih banyak punya persamaan dari pada perbedaan. Allah kita sama, Muhammad kita sama, Quran kita sama, Hadits kita sama, kiblat kita sama, jumlah rakaat shalat kita juga sama, lalu mengapa kita harus saling menuduh sesat?

Silahkan khawatir bahkan kalau perlu dibubarkan segera kalau ada gerakan yang mengaku Islam tetapi tuhannya bukan Allah, nabinya bukan Muhammad SAW, kitabnya bukan Quran, anti hadits, anti shalat, anti zakat dan anti Islam. Atau mengatakan semua agama sama. Kepada kelompok sesat seperti ini, kita harus bersatu dalam sikap dan langkah: bubarkan.

Halaqah PKS

Sedangkan halaqah-halaqah PKS yang banyak digelar di berbagai tempat, memang punya banyak manfaat positif. Meski harus diakui bahwa umumnya para murabbi tidak dalam kapasitas sebagai ulama atau ahli syariah. Bahkan yang bisa bahasa arab untuk bisa merujuk ke kitab tafsir, hadits, fiqih dan jutaan kitab literatur keIslaman lainya, sangat sedikit. Apalagi menu halaqah saat ini lebih banyak tema politik dari pada ilmu-ilmu keIslaman yang mendasar.
Semua ini adalah tantangan tersendiri secara internal di dalam PKS, yaitu bagaimana mencetak para kader murabbi yang bukan sekedar bisa ceramah di dalam halaqah, tetapi punya ilmu syariah dan mampu merujuk ke literatur yang asli. Agar halaqah tidak kering dari sisi ilmu syariah. Daurah murabbi yang hanya sehari dua hari tentu tidak akan melahirkan para ahli syariah, yang mampu menjawab semua permasalahan umat.

Karena itu PKS dan seluruh kalangan muslim lainnya wajib mendirikan madrasah syariah yang bisa melahirkan para ulama betulan, melek syariah, paham kitab, fikrahnya benar, aqidahnya lurus, ilmunya punya dasar.

Silahkan mampir kapan-kapan kalau ada waktu, no hp saya ada di halaman ini bagian kiri. Atau bisa juga ber-YM dengan saya dengan ID: ustsarwat

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc