Jumat, Oktober 22, 2010

Penghalang Masuk Surga


Oleh : Drs. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah
Setiap muslim pasti ingin memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat, karenanya hal ini selalu dipanjatkan dalam do'anya setiap hari. Kebahagiaan di akhirat berarti seseorang dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Swt. Namun keinginan saja ternyata belum cukup, setiap orang harus berusaha untuk bisa masuk ke dalamnya dan usaha itu harus dilakukan sekarang dalam kehidupan di dunia ini.
Diantara usaha yang harus dilakukan dalam kehidupan di dunia ini agar bisa masuk ke dalam surga adalah dilepaskan atau dibuangnya berbagai penghalang sehingga perjalanan menuju surga bisa menjadi lancar. Penghalang yang harus disingkirkan itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan Al Hadits yang akan kita bahas melalui tulisan yang singkat ini.

1. Syirik Kepada Allah.
Syirik kepada Allah Swt adalah menganggap atau menjadikan selain Allah Swt sebagai Tuhan, ini merupakan syirik yang besar sehingga pelakunya bisa dinyatakan kafir, keluar dari Islam (murtad) dan seandainya sebelum itu dia melakukan amal yang shaleh, maka terhapuslah nilai amalnya itu, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih sendiri berkata: Hai bani israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolongpun (QS 5:72).
Disamping itu, meskipun tidak sampai dinyatakan kafir, ada pula syirik yang kecil, yakni riya atau mengharapkan pujian dari amal shaleh yang dilakukan seseorang, bila hal ini selalu dilakukan dalam amal, maka seseorang bisa jadi tidak bisa masuk surga karena masuk surga harus dengan bekal amal shaleh yang banyak, sedangkan orang ini tidak punya nilai dari amal shalehnya karena terhapus dengan riya, itu sebabnya Rasulullah Saw sangat khawatir bila umatnya memiliki sifat riya, beliau bersabda:
ِانَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ. قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟. قاَلَ: اَلرِّيَاءُ
Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: “apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).
Termasuk syirik kepada Allah adalah mempercayai perdukunan, ramalan-ramalan nasib, tahayyul, jimat, sihir, jampi-jampi yang tidak berdasar, kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan aqidah Islam dan sebagainya.

2. Sombong.
Kesombongan merupakan sifat yang sangat tercela, hal ini karena manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya tidak pantas berlaku sombong. Hanya Allah yang Maha berkuasa, Maha kaya, Maha tahu dan sebagainya yang pantas berlaku sombong, meskipun Dia tidak menyombongkan diri. Karena itu, Allah Swt menutup pintu surga bagi orang-orang yang sombong, Rasulullah
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذََرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
Tidak masuk surga orang yang di dalam hati ada kesombongan meskipun hanya sebiji sawi (HR.Muslim).
Disamping itu, Allah Swt lebih murka lagi kepada orang menyombongkan diri dengan dosa yang dilakukannya atau bangga dengan dosa, hal ini membuat ia semakin sulit untuk bisa masuk ke dalam surga sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri kepadanya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk ke dalam surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (QS 7:40).
Kesombongan menjadi penghalang untuk bisa masuk surga karena memang sangat berbahaya bagi manusia, khususnya orang yang memiliki sifat tersebut. Paling tidak, ada empat bahaya sifat sombong.

Pertama, Merasa menjadi orang yang paling baik dan benar sehingga ia menjadi orang yang mau menang sendiri. Ini bermula karena ia memiliki kelebihan-kelebihan, namun ia tidak melihat bahwa banyak orang yang memiliki kelebihan yang lebih hebat dari kelebihan yang dimilikinya.

Kedua, Tidak senang pada saran, hal ini karena ia sudah merasa sempurna, tidak punya kekurangan, apalagi bila kesombongan itu tumbuh karena usianya yang sudah tua dengan segudang pengalaman, ia akan menyombongkan diri kepada orang yang muda, atau sombong karena ilmunya banyak dengan gelar kesarjanaan di depan dan di belakang namanya, maka akan berlaku sombong kepada orang yang tidak lebih tinggi pendidikannya. Kalau saran saja sudah tidak mau diterimanya, apalagi kritik.

Ketiga, Tidak senang terhadap kemajuan yang dicapai orang lain, hal ini karena apa yang menjadi sebab dari kesombongannya akan tersaingi oleh orang itu yang menyebabkan dia tidak pantas lagi berlaku sombong, karenanya orang seperti ini biasanya menjadi iri hati (hasad) terhadap keberhasilan, kemajuan dan kesenangan yang dialami orang lain, bahkan kalau perlu menghambat dan menghentikan kemajuan itu dengan cara-cara yang membahayakan seperti memfitnah, mengembangkan permusuhan hingga pembunuhan.

Keempat, Menolak kebenaran meskipun ia meyakininya sebagai sesuatu yang benar, hal ini difirmankan Allah Swt di dalam Al-Qur’an: Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan (QS 27:14).

3. Memutuskan Persaudaraan.
Pada dasarnya, manusia itu adalah makhluk yang bersaudara dengan sesamanya, karenanya jangan sampai tergadi kebencian dan permusuhan tanpa alasan yang bisa dibenarkan, apalagi bagi orang yang memiliki kesamaan iman terutama bila yang sesama mu'min itu memiliki ikatan persaudaraan dalam nasab atau keturunan. Karenanya bila terjadi pemutusan hubungan persaudaraan dalam nasab, maka Allah Swt amat menyayangkan hal itu sehingga Dia yang menjadi pemilik surga tidak akan memasukkan orang yang memutuskan persaudaraan, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Tidak masuk surga orang yang memutuskan, yakni memutuskan silaturahim (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Tidak dimasukkannya orang yang memutuskan silaturahim ke dalam surga karena Allah Swt sangat murka sehingga laknat-Nya akan turun kepada mereka, hal ini dinyatakan dalam firman Allah Swt: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS 47:21-23).

Karena hubungan persaudaraan yang berasal dari satu rahim ibu harus disambung dan diperkokoh, maka siapa saja yang memutuskannya akan mendapatkan kutukan dari Allah Swt, dan bagaimana mungkin orang yang mendapatkan kutukan Allah bisa masuk ke dalam surga, Allah Swt berfirman: Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturrahim) dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka). (QS 13:25).

Oleh karena itu, orang yang memutuskan silaturahim dimasukkan oleh Allah ke dalam kelompok orang yang fasik dan mereka akan menjadi orang-orang yang rugi, baik di dunia maupun di akhirat, hal ini terdapat dalam firman Allah Swt: Dan tidak ada yang disesatkan kecuali orfang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya (silaturrahim) dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 2:26-27).

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa manakala kita ingin masuk ke dalam surga, maka segala rintangan yang menghalangi harus bisa kita singkirkan.

Drs. H. Ahmad Yani - ayani__ku@yahoo.co.id
sumber : Eramuslim.com

Kamis, Oktober 21, 2010

SHALAT TAHAJUD DAN SHALAT DHUHA

Tata cara shalat tahajud dapat disimpulkan secara ringkas sebagai berikut:

1. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya sampai sebelum waktu shubuh. (Berdasarkan HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah). Tetapi yang paling baik adalah pada sepertiga akhir malam (Berdasarkan HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Jabir).

2. Shalat tahajud boleh dikerjakan secara berjamaah (berdasarkan HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas), dan boleh juga dilakukan sendirian.

3. Diawali dengan shalat iftitah dua rakaat. (Berdasarkan HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah). Adapun cara melaksanakan shalat iftitah adalah sebagai berikut:

· Sebelum membaca al-Fatihah pada rakaat pertama, membaca do’a iftitah:

سُبْحَانَ اللهِ ذِي الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

“Subhaanallaahi dzil-malakuuti wal-jabaruuti wal-kibriyaa’i wal ‘adzamah”. Artinya: “Maha suci Allah, Dzat yang memiliki kerajaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan.”

· Hanya membaca surat al-Fatihah (tidak membaca surat lain) pada tiap rakaat. (Berdasarkan HR. Abu Daud dari Kuraib dari Ibnu ‘Abbas). Adapun bacaan lainnya seperti; bacaan ruku’, i’tidal, sujud dan lainnya sama seperti shalat biasa.

· Shalat iftitah boleh dilakukan secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. (Berdasarkan HR ath-Thabrani dari Hudzaifah bin Yaman)

· Setelah itu, melaksanakan shalat sebelas rakaat. Beberapa hadis Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa shalat tahajud bisa dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya adalah:

· Melaksanakan empat rakaat + empat rakaat + tiga rakaat (4 + 4 + 3 = 11 rakaat). (Berdasarkan HR. Al-Bukhari dari ‘Aisyah)

· Dua rakaat iftitah + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + satu rakaat (2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 13 rakaat). (Berdasarkan HR. Muslim dari ‘Aisyah).

· Pada shalat witir, hendaknya membaca surat al-A’la setelah al-Fatihah pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada rakaat kedua, dan al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga. Setelah salam, sambil duduk membaca:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ (3x)

“Subhanal-malikil-qudduus.” (3x)

Artinya: “Maha Suci (Allah), Dzat Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Suci.”,

dengan mengeraskan dan memanjangkan pada bacaan yang ketiga, lalu membaca:

رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ

“Rabbil-malaaikati war-ruuh”.

Artinya: “Yang Menguasai para malaikat dan ruh.”

(Berdasarkan HR. al-Baihaqi, juz 3/ no. 4640; Thabrani, juz 8/ no. 8115; Daruqutni, juz 2/ no. 2, dari Ubay bin Ka’ab. Hadis ini dikuatkan oleh ‘Iraqi)

1. Membaca do’a.

Di antara do’a-do’a yang dibaca Rasulullah Saw. adalah:

· Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا.

Artinya: “Ya Allah, berikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam penglihatanku cahaya, di dalam pendengaranku cahaya. Dan (berikanlah) cahaya dari sebelah kananku, cahaya dari sebelah kiriku, cahaya dari atasku, cahaya di bawahku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, dan berikanlah cahaya pada seluruh tubuhku.”

· Berdasarkan riwayat Muslim dari ‘Aisyah:

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari (siksa)-Mu. Aku tidak dapat lagi menghitung pujian yang ditujukan kepada-Mu. Engkau adalah sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu sendiri.”

· Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.

Artinya: “Ya Allah, hanya bagi-Mu segala pujian, Engkau cahaya (penerang) langit dan bumi. Hanya bagi-Mu segala pujian, Engkau Penegak langit dan bumi. Hanya bagi-Mu segala pujian, Engkau Yang Mengatur langit dan bumi beserta isinya. Engkau adalah Dzat yang haq. Janji-Mu adalah benar. Firman-Mu adalah benar. Perjumpaan dengan-Mu adalah benar. Surga adalah nyata. Neraka adalah nyata. Para nabi adalah benar. Hari kiamat adalah nyata. Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berserah diri. Hanya kepada-Mu aku beriman. Hanya kepada-Mu aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali. Hanya atas pertolongan-Mu aku berjuang. Hanya kepada-Mu aku mohon keadilan. Maka ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, yang aku lakukan secara sembunyi-sembunyi dan yang terang-terangan. Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.”

Doa-doa tersebut bisa dibaca ketika sujud, setelah membaca shalawat pada tasyahud akhir, atau ketika selesai shalat.

Sedangkan tata cara shalat dhuha (disebut juga shalat awwabin) adalah sebagai berikut:

1. Dilaksanakan pada saat matahari sudah naik kira-kira sepenggal atau setinggi tonggak (maksudnya bukan pada waktu matahari baru terbit), dan berakhir menjelang masuk waktu zhuhur (Berdasarkan HR. Muslim dari Ummu Hani’). Dalam Jadwal Waktu Shalat, waktu shalat dhuha dimulai sekitar setengah jam setelah matahari terbit (syuruq).

2. Shalat dhuha dapat dilaksanakan sebanyak:

Ø Dua rakaat (berdasarkan HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Ø Empat rakaat (berdasarkan HR. Muslim dari ‘Aisyah).

Ø Delapan rakaat dengan melakukan salam tiap dua rakaat (berdasarkan HR. Abu Daud dari Ummu Hani’).

Ø Boleh dikerjakan dengan jumlah rakaat yang kita inginkan. Berdasarkan hadis:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah saw mengerjakan shalat dhuha empat rakaat dan adakalanya menambah sesukanya.” (HR. Muslim)

Al-’Iraqi mengatakan dalam Syarah at-Tirmidzi, “Aku tidak melihat seseorang dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang membatasi jumlahnya pada dua belas rakaat. Demikian juga pendapat Imam as-Suyuti, dari Ibrahim an-Nakha’i; bahwa seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa rakaat aku harus shalat dhuha?” Ia menjawab, “terserah kamu”. (Fiqh as-Sunnah, jilid 1, hal 251, terbitan Dar al-Fath li al-’Ilam al-Arabi. Hadist-hadist yang menyatakan jumlah rakaatnya dua belas tidak ada yang lepas dari cacat. (Subul as-Salam, juz 2, hal. 19, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah)

1. Sebaiknya tidak dilaksanakan secara terus-menerus setiap hari. Berdasarkan hadis:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى قَالَتْ لَا إِلَّا أَنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah Nabi Saw. selalu melaksanakan shalat dhuha?”, ‘Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya.” [HR. Muslim]

Syu’bah meriwayatkan dari Habib bin Syahid dari Ikrimah, ia mengatakan; “Ibnu ‘Abbas melakukan shalat dhuha sehari dan meninggalkannya sepuluh hari”. Sufyan meriwayatkan dari Mansur, ia mengatakan; “Para sahabat tidak menyukai memelihara shalat dhuha seperti shalat wajib. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya”. (Zad al-Ma’ad, juz 1, hal 128, terbitan Dar ar-Royyan li at-Turats)

· Shalat dhuha dapat dikerjakan secara berjamaah. Berdasarkan hadis:

عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Itban bin Malik —dia adalah salah seorang shahabat Nabi yang ikut perang Badar dari kalangan Ansar— bahwa dia mendatangi Rasulullah saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya, matanya sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Rasulullah saw dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan beliau. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Kemudian Rasulullah saw berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mcngucapkan salam”. [Muttafaq Alaih].

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ. [رواه أحمد والدارقطني وابن خزيمة]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Itban ibn Malik, bahwasanya Rasulullah saw mengerjakan shalat di rumahnya pada waktu dhuha, kemudian para sahabat berdiri di belakang beliau lalu mengerjakan shalat dengan shalat beliau.” [HR. Ahmad, ad-Daruquthni, dan Ibnu Hibban]

Ada pula satu hadis riwayat Ahmad, ad-Daruquthni, dan Ibnu Hibban dari A’idz ibn ‘Amr, yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw pada suatu kesempatan pernah melaksanakan shalat dhuha bersama para sahabat beliau.

do’a sholat dhuha

Doa sesudah sholat dhuha

ALLAHUMMA INNADH DHUHA-A DHUHA-UKA, WAL BAHAA-A BAHAA-UKA, WAL JAMAALA JAMAALUKA, WAL QUWWATA QUWWATUKA, WAL QUDRATA QUDRATUKA, WAL ISHMATA ISHMATUKA. ALLAHUMA INKAANA RIZQI FIS SAMMA-I FA ANZILHU, WA INKAANA FIL ARDHI FA-AKHRIJHU, WA INKAANA MU’ASARAN FAYASSIRHU, WAINKAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU, WA INKAANA BA’IDAN FA QARIBHU, BIHAQQIDUHAA-IKA WA BAHAAIKA, WA JAMAALIKA WA QUWWATIKA WA QUDRATIKA, AATINI MAA ATAITA ‘IBADIKASH SHALIHIN.

Artinya: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah. Dengan kebenaran dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, kekuasaan-Mu, kudrat-Mu, (Wahai Tuhanku) datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.

Jumat, Oktober 08, 2010

Tujuh Aspek Kebahagiaan Dunia

Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang sahabat yang sangat telaten dan rajin dalam menjaga dan meladeni Rasulullah. Ia adalah Ibnu Abbas ra. Yang pada usia 9 tahun telah hafal Al-Quran dan sudah menjadi imam di masjid. Ia juga yang pernah secara khusus didoakan oleh Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat, Ibnu Abbas ra ditanya oleh para Tabi’in. Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia itu. Lalu Ibnu Abbas pun menjawab dengan 7 aspek kebahagiaan dunia. Ketujuh aspek itu adalah...

Aspek Pertama


Qalbun syakirun
atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki hati dan jiwa yang bersyukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah) sehingga tidak pernah merasa stress, tidak mempunyai ambisi yang berlebihan, dan selalu merasakan nikmatnya bersyukur. Orang yang pandai bersyukur akan selalu menerima dengan ikhlas segala pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang mengalami kesulitan lalu ingat dengan apa yang diajarkan oleh Rasullullah SAW. Saat kita mengalami kesulitan, maka harus tetap bersyukur karena ternyata masih banyak orang yang lebih sulit dari kita.


Namun bila kita mendapatkan kemudahan, maka kita harus bersyukur dengan memperbanyak ibadah dan makin mendekatkan diri kepada Allah. Niscaya Allah akan memberikan kemudahan yang lebih lagi. Maka berbahagialah bagi orang yang pandai bersyukur.


Aspek Kedua

Al azwaju shalihah
, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Siapa yang tidak menginginkan pasangan hidup yang soleh. Pasangan hidup yang soleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang soleh juga. Di akhirat kelak seorang suami sebagai imam keluarga akan dimintai pertanggungjawaban dalam mengajak seluruh anggota keluarga yaitu istri dan anak kepada kesolehan. Maka berbahagialah istri yang memiliki suami yang soleh. Berbahagialah pula suami yang memiliki istri yang soleh. Yang mempunyai kesabaran, keteguhan dan keikhlasan yang luar biasa besarnya dalam melayani suami walau perilaku suaminya buruk.


Aspek Ketiga

al auladun abrar
, yaitu anak yang soleh.

Suatu waktu saat Rasulullah melakukan Thawaf, Beliau bertemu dengan seorang pemuda yang pundaknya lecet-lecet dan penuh luka. Kemudian Rasulullah bertanya kapada pemuda itu, “Kenapa pundakmu itu hai pemuda?”. Lemudian pemuda itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya seorang pemuda dari Yaman. Saya mempunyai ibu yang duah uzur. Saya sangat mencintai dan menyayangi dia. Saya tidak pernah melepaskan dan selalu menggendong dia. Saya hanya melepaskan ibu saya hanya saat beristirahat dan buang hajat”. Kemudian pemuda itu bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah apa saya sudah menjadi orang yang berbakti kepada orangtua?”. Rasulullah SAW kemudian memeluk erat pemuda itu dan berkata kepada pemuda itu, “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu adalah anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi ketahuilah, cinta orangtuamu tak akan terbalas olehmu”.


Dari hadist tersebut dapat menggambarkan bahwa amal ibadah kita tak mampu membalas cinta, kasih sayang dan kebaikan orang tua kita. namun kita dapat memulai dengan menjadi anak yang sholeh, yang selau mendoakan kedua orangtua kita. Doa anak soleh kepada orangtuanya akan selalu dikabulkan oleh Allah. Dan itu merupakan amal jariyah yang tidak ada putus-putusnya. Maka berbahagialah yang mempunyai anak yang sholeh.


Aspek Keempat

Albiatu sholihah
, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif adalah kita boleh mengenal siapapun, tapi untuk menjadikan seseorang sahabat kita, haruslah yang bisa meningkatkan keimanan kita. Dalam hadist Rasulullah menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang-orang soleh. Karena orang-orang soleh akan mengajak kita dalam kebaikan dan akan mengingatkan kita jika kita berbuat salah.


Orang-orang soleh juga merupakan orang-orang yang bahadia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang mereka miliki. Nikmat-nikmat itu akan memancarkan cahaya di wajah mereka dan Insya Allah juga akan menyinari orang-orang disekitar mereka. Maka berbahagialah orang yang mempunyai teman dan sahabat yang soleh.


Aspek Kelima

Al malul halal, atau harta yang halal.


Yang penting dalam Islam bukanlah banyaknya harta melainkan halalnya. Namun Islam juga tidak melarang umatnya untuk kaya. Dalam hadist riwayat Imam Muslim, Rasulullah pernah bertemu dengan seorang sahabat yang sedang berdoa dengan mengangkat kedua tanganya. Rasulullah berkata, “Doamu sudah bagus. Namun sayang makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya akan dikabulkan”. Maka, bebahagialah orang yang mempunyai harta yang halal, yang akan sangat mudah doanya dikabulkan oleh Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan diri dari setan, membuat hati semakin bersih, dan membuat hidup menjadi tenang.


Aspek Keenam

Tafakuh fi dien
, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dengan memahami ajaran-ajaran islam. Semakin ia belajar, maka semakin termotivasi pula dirinya untuk lebih mengenal dan memahami sifat-sifat Allah dan ciptaanNya. Allah menjanjikan rahmat kepada orang yang mau belajar dan menuntut ilmu ajaran-ajaran Islam. Semakin ia belajar, maka semakin cinta pula ia pada Allah dan Rasulnya. Dan hal itu akan menjadi penerang dalam hatinya.


Semangat untuk memahami agama ini juga akan menghidupkan hatinya. Dengan hati yang hidup, ia akan merasakan nikmatnya cahaya iman dan cahaya Islam dalam dirinya. Maka berbahagialah orang yang mempunyai semangat untuk belajar dan memahami agama Islam.


Aspek Ketujuh

yaitu umur yang baroqah.


Umur yang barokah adalah umur yang semakin tua akan semakin soleh pula, yang setiap saat setiap waktu akan diisi dengan amal ibadah kepada Allah. Seseorang yang selama masa hidupnya hanya diisi untuk kebahagiaan dunia saja, maka saat masa tua datang ia hanya akan berangan-angan dan menyesali masa mudanya kecewa dengan masa tuanya. Masa tua yang seharusnya diisi untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Allah maka akan diisi dengan angan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia rasakan.


Dalam masa tua seharusnya ia tak akan takut untuk bertemu Sang Pencipta. Bahkan ia akan rindu ingin sekali berjumpa dengan Sang Pencipta dan ingin segera merasakan keindahan dan kenikmatan kehidupan selanjutnya yang telah dijanjikan oleh Allah.


Itulah semangat hidup umur yang barokah. Semangat untuk selalu mengisi hidupnya dengan amal ibadah. Jadi umur yang barokah bukanlah umur yang panjang, tapi sejauh mana panjangnya amal sholeh yang telah dikerjakan selama ia menjalani kehidupan di dunia. Semakin panjang masanya ia berbuat amal sholeh maka umurnya semakin barokah. Berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.

Demikianlah ketujuh aspek kehidupan dunia yang dijawab oleh Ibnu Abbas ra setelah mendapat pertanyaan dari para Tabi’in mengenai kebahagiaan dunia. Sekarang coba kita renungkan apakah kita sudah melakukan atau sudah memiliki, ketujuh aspek itu?? Jika belum, mari kita berusahalah untuk melakukan, mencari, dan berusaha untuk mendapatkan ketujuh aspek kebahagiaan dunia itu.