4 PILAR TEGAKNYA
AGAMA DAN NEGARA
Dari Kitab Nashaihul
‘Ibad hal 119 karya Syech Nawawi Al Bantany
Sayyidina ‘Ali
berkata :
عَنْ عَلِىّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ
قَالَ
Diriwayatkan dari Sayyidina Ali k.w. berkata :
|
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ
وَ الدُّنْيَا قَائِمَيْنِ مَادَامَتْ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ
bahwa agama dan dunia
senantiasa akan tetap berdiri tegak selama ada empat perkara.
|
مَادَامَ
اْلأَغْنِيَاءُ لاَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا خُوِّلُوْا
Yaitu selama orang-orang kaya
tidak kikir dengan apa-apa yang telah diberikan kepadanya,
|
وَ مَادَامَ
الْعُلَمَاءُ يَعْمَلُوْنَ بِمَا عَلِمُوْا
selama para ulama masih
mengamal-kan apa-apa yang diketahuinya,
|
وَ مَادَامَ
الْجُهَلاَءُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَمَّا لَمْ يَعْلَمُوْا
selama orang-orang bodoh
tidak sombong dari perkara yang tidak diketahuinya
|
وَ مَادَامَ
الْفُقَرَاءُ لاَ يَبِيْعُوْنَ آخِرَتَهُمْ بِدٌنْيَاهُمْ
dan selama orang-orang fakir tidak menjual akhiratnya dengan
dunia.
|
Saat ini, kita
dihantui oleh bayangan keruntuhan agama dan dunia. Bayangan itu bukan lahir
dari khayalan, melainkan dari deretan fakta hidup dan kehidupan yang kini
banyak menyimpang dari prinsip-prinsip syariat Allah. Fakta-fakta penyimpangan
itu secara benderang bisa kita saksikan di mana-mana. Bahkan di dalam diri kita
sendiri. Contoh kecil adalah betapa kita seringkali senang menimbun harta,
padahal di dalam harta itu terdapat hak-hak orang miskin dan fakir yang wajib
dipenuhi.
Menurut Sayyidina Ali k.w., agama dan dunia tidak akan runtuh
selama orang-orang kaya tidak kikir dengan apa-apa yang telah diberikan
kepadanya, selama para ulama masih mengamalkan apa-apa yang diketahuinya,
selama orang-orang bodoh tidak sombong dari perkara yang tidak diketahuinya dan
selama orang-orang fakir tidak menjual akhiratnya dengan dunia. Sebaliknya, keempat
perkara itu menjadi indikator runtuhnya fondasi agama dan dunia, apabila tidak
berjalan secara fungsional.
Tidak Kikir
Firman Alloh dalam
QS. Ali Imraan : 180
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ
سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta
yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.
Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Orang-orang kaya
sejatinya menjadi pilar penyangga tegaknya agama dan dunia. Yaitu orang-orang
kaya yang memiliki jiwa kedermawanan dan solidaritas sosial yang tinggi. Jiwa
kedermawanan itu dibuktikan dengan sikap lapang dada untuk mau membantu
meringankan beban ekonomi orang-orang fakir dan miskin. Sedangkan solidaritas
sosial ditunjukkan dengan sikap simpati dan empati manakala menyaksikan orang
yang sengaja “dianiaya” atau “terpinggirkan” dalam struktur sosial.
Realitas saat ini
menunjukkan fakta berbeda. Banyak orang kaya yang bersikap egois dan sombong.
Egoisme dan kesombongan itu bisa kita lihat dari keengganan mereka untuk mau
membantu orang-orang tidak mampu dan berada di garis kemiskinan. Justru
sebaliknya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menambah volume kekayaan yang
mereka miliki. Dalam pikiran mereka, semakin kaya secara harta semakin tinggi
pula derajatnya di mata masyarakat. Bangunan logika mereka berdiri kokoh di
atas pondasi materialisme yang hanya “menuhankan” harta dan kekayaan.
Orang kaya yang
kikir senantiasa berpikir bagaimana mengekploitasi semaksimal mungkin kekayaan
yang terpendam di bumi dan di langit untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ironisnya lagi, mereka lupa bahwa harta kekayaan itu sebenarnya juga milik anak
cucu mereka mendatang. Kalau setiap orang kaya bersikap seperti ini, jangan
pernah berharap orang-orang miskin bisa terangkat kesejahteraan hidupnya. Dan
jangan pernah berharap pula anak cucu mereka di masa mendatang bisa hidup
sejahtera.
Sikap kikir
orang-orang kaya inilah sesungguhnya biang keruntuhan agama dan dunia.
Bagaimana mungkin para penganut agama bisa beribadah dengan baik dan khusyu’
sementara perut mereka lapar. Bagaimana dunia bisa dinikmati oleh banyak orang
kalau masih ada segelintir orang yang mengekploitasi kekayaan yang terpendam di
dalamnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Memelihara sikap kikir sama halnya
membiarkan ulat memakan batang kayu dari dalam. Kayu itu akan rapuh dan hancur,
cepat ataupun lambat. Begitu juga agama dan dunia. Keduanya akan tinggal nama
dan kenangan.
Sungguh, Allah
tidak senang terhadap orang kaya yang kikir (bakhil). Sebagai balasannya, Allah
akan menyiksa orang-orang kikir (bakhil) itu di hari kiamat kelak sebagaimana
ayat diatas.
Konsisten dengan Ilmu
Ulama yang
konsisten mengamalkan ilmunya termasuk salah satu faktor tegaknya agama dan
dunia. Ulama yang konsisten senantiasa meniatkan seluruh amaliahnya, baik
ritual keagamaan maupun aktivitas sosialnya, kepada tujuan primer “semata-mata
ibadah kepada Allah.” Tidak ada tujuan lain.
Para ulama
mengabdikan hidupnya untuk Allah semata. Sementara ilmu yang dimiliki, mereka
manfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Bukan untuk mencelakakan manusia.
Mereka berkeyakinan, semakin banyak ilmu yang diberikan kepada orang lain,
semakin tajam ilmu yang dimiliki dan semakin besar pahala yang akan
diraihnya.Paraulama meyakini bahwa ilmu akan senantiasa mengalir menjadi hikmah
manakala ilmu itu secara istiqamah diamalkan.
Ulama sejati tidak
akan pernah menyembunyikan apa-apa yang diketahuinya. Menyembunyikan ilmu sama
halnya dengan menghalangi seseorang untuk mengetahui Tuhannya dan dirinya.
Sikap seperti ini tidak bisa dibenarkan bagi seorang ulama pewaris Nabi.
Apalagi mereka termasuk hamba Allah yang paling takut kepada-Nya. Firman Allah
SWT, :
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ
وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS
Fâtir: 28).
Kalau kita cermati kondisi sebagian ulama saat ini, sungguh cukup
memperihatinkan. Godaan harta, jabatan, dan wanita menjadi faktor dominan
bagaimana sebagian ulama sekarang tidak lagi mampu memainkan perannya sebagai
pewaris para Nabi. Jangankan konsisten mengamalkan ilmu, sebagian ulama kini
hidupnya “tersandera” dengan jabatan-jabatan politik yang sangat kotor. Mereka
seringkali lupa pulang ke “kampung halaman” untuk sekadar berdakwah menyeru
umatnya kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kalau ulamanya seperti ini,
kehancuran agama dan dunia tinggal menunggu hitungan waktu. Naûdzubillâh.
Tidak Sombong
Agama dan dunia
senantiasa akan tegak manakala orang-orang bodoh tidak sombong terhadap hal-hal
yang tidak diketahuinya. Kesombongan inilah sumber utama yang menyebabkan
orang-orang bodoh mudah terjerumus ke lubang nestapa. Orang bodoh yang sombong
senantiasa akan bersikap “sok pintar” dan “sok menguasai masalah”. Kesombongan
telah membawa orang-orang bodoh ke jurang egoisme yang tak berkesudahan.
Orang bodoh yang
sombong tidak lagi mengenal etika sosial, apalagi kerendahan hati. Yang penting
baginya adalah bagaimana bisa tampil gagah dan mengesankan. Sikap seperti ini
sangat berbahaya, terutama apabila orang-orang bodoh yang sombong itu
menyampaikan jawaban terkait masalah-masalah agama padahal dia tidak menguasai
subtansi masalah itu. Jawaban yang diberikan pasti menyesatkan. Jawaban seperti
sedikit banyak akan berakibat pada proses pendangkalan sikap keberagamaan kita.
Orang-orang bodoh yang sombong itu seperti tong kosong nyaring bunyinya. Hanya
penampilan fisiknya yang prima padahal hatinya hampa.
Bagaimana jadinya
dunia ini kalau dipenuhi dengan orang bodoh yang sombong. Sudah dipastikan
wajah dunia akan semrawut. Dunia akan menjadi sesak. Ibarat sampah, orang-orang
bodoh yang sombong hanya akan menjadi beban bagi dunia. Walaupun memang sulit
untuk melenyapkannya. Padahal sikap sombong termasuk sikap paling dibenci oleh
Allah. Firman Allah SWT, :
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung.(QS
Al-Isrâ: 37).
Alangkah bijak
kiranya, apabila orang-orang bodoh itu mengakui kebodohannya dan tidak sombong.
Mengakui kekurangan dan ketidaktahuan terhadap satu persoalan adalah salah satu
modal utama terciptanya suasana hidup beragama yang harmonis.
Tidak Menjual Akhirat dengan Dunia
Seringkali kita
mendengar cerita orang miskin berpindah agama, hanya gara-gara uang. Cerita itu
adalah sebuah ironi bagi penganut agama. Kenyataan ini menandakan betapa harta
mampu menjadi panglima. Sangat disayangkan seorang beragama mengorbankan
keyakinan dan akhiratnya dengan urusan dunia yang tidak kekal itu. Kalau
begitu, betapa tidak berartinya akhirat, dan betapa bernilainya dunia. Satu
logika terbalik, yang kini banyak merasuki pikiran orang-orang saat ini.
Memang, kefakiran
menjadi salah sebab seseorang menjadi kafir. Tetapi, hal itu tidak berlaku bagi
orang-orang fakir yang fondasi imannya kuat dan keyakinan agamanya kokoh. Biar
pun langit bergoncang, orang fakir itu akan tetap kokoh dan taat kepada
agamanya, serta tidak akan pernah berpindah ke agama lain. Bagi mereka, akhirat
lebih abadi dan penuh kedamaian. Firman Allah SWT,:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan
duniawi.
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan
lebih kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar