Kaidah Dakwah
13:
DAKWAH ADALAH PERNIAGAAN YANG TERAMAT MULIA , TIDAK BISA
DIJUAL DENGAN MATERI SEBESAR APAPUN , KARENA HARTA DUNIA DAPAT MERUSAKKAN
MARUAH (MARTABAT) DA’I
Seorang da’i itu melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya mengikuti perintah Allah Ta’ala. Tugas dakwah ini lebih
mulia dan amat berat jika dibandingkan dengan tugas lain di dunia. Dimana
orang-orang yang berjuang di dalamnya akan mendapatkan kebaikan yang berlipat
dari sisi Allah SWT. Bahkan Allah SWT telah memberikan gelar ‘khairu
ummat’ atas umat ini (Islam) salah satunya karena aktivitas dakwah yang
berada di pundak kaum Muslimin.
Allah SWT berfirman
,
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
“Kamu adalah umat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS.
‘Ali Imran : 110).
Tiada
satu tugas pun di atas muka bumi ini yang syarat (penuh) dengan segala beban dan kesulitan
(cobaan) melainkan tugas dakwah. Dakwah itu bukan saja menuntut pengorbanan
jiwa dan harta, bahkan terpaksa berjauhan dengan keluarga dan negara. Ia tidak akan
mampu dibalas dengan kesenangan dunia.
Para anbiya’ senantiasa berpegang
teguh dengan prinsip ini sebagaimana kata mereka di dalam firman Allah Surah
al-An`am: Ayat 90.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
هَدَى اللهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ.
Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan
(Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
seluruh ummat.
Rasulullah SAW diperintahkan supaya
beriltizam (berkomitmen) dengan manhaj ini. Ketika penduduk Mekah menolak
dakwah Nabi SAW, turunlah ayat tersebut sebab penolakan mereka sebagaimana
firman Allah dalam Surah At-Tur: Ayat 40 :
أَمْ تَسْأَلُهُمْ
أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
Ataukah engkau (Muhammad) meminta imbalan kepada mereka
sehingga mereka dibebani hutang?
Ketahuilah bahwa seseorang yang
mencari keuntungan dunia tidak akan melakukan sesuatu perkara melainkan untuk
memperoleh imbalan dan penghargaan duniawi.
Demikianlah kisah tukang sihir
dengan Nabi Musa di mana jelas terbukti ketika mereka berkata kepada Fir’aun di
dalam Surah Asy-Syu`ara’ (26) Ayat 41-42 :
فَلَمَّا جَاءَ
السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ
الْغَالِبِينَ
Maka tatkala
ahli-ahli sihir datang, merekapun bertanya kepada Fir'aun: "Apakah kami
sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang
menang? (QS. Asy-Syu’ara :41)
Kemudian Firaun membenarkan mereka
dengan katanya :
قَالَ نَعَمْ
وَإِنَّكُمْ إِذًا لَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
Fir'aun
menjawab: "Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan
menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)". (QS.
Asy-Syu’ara :42)
Setelah iman terpahat dalam jiwa dan
sanubari mereka, mereka tidak meninggalkan untuk mendapatkan ganjaran bahkan
kata mereka kepadanya dalam QS Thaha(20)
:72
قَالُوا لَنْ
نُؤْثِرَكَ عَلَىٰ مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا ۖ فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ ۖ إِنَّمَا تَقْضِي هَٰذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Mereka
berkata: "Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada
bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada
Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak
kamu putuskan. Sesungguhnya
kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.
Bentuk -
bentuk imbalan atau penghargaan yang perlu dijauhi oleh da’i.
Imbalan dan penghargaan ini bukan
semata-mata hanya berkaitan dengan harta bahkan ia mencakup setiap manfaat yang
diterima dari hasil dakwah. Hendaknya seorang da’i tidak menanti - nanti atau
mengharapkan ucapan penghargaan atau berharap untuk terkenal.
Beberapa
faedah dan hukum terkait dengan tidak mengharapkannya imbalan dalam dakwah :
Pertama: Mendorong
keimanan terhadap takdir dan beramal yang menjadikan faktor keberhasilan.
Sebagian
orang beranggapan bahwa seorang da’i itu memang telah ditentukan bahwa dakwah
yang dilakukan tersebut menghubungkannya dengan rezeki dan harta. Dakwah seorang
da’i itu bertujuan agar manusia mengikuti dan mendapat manfaat dari dakwah yang
disampaikan sekalipun dakwah itu dilakukan oleh sebagian besar da’i miskin yang
hanya bersandar pada Ridho Alloh.
Allah Ta`ala berfirman dalam Surah
Hud: Ayat 29
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ ۚ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ
الَّذِينَ آمَنُوا ۚ إِنَّهُمْ مُلَاقُو
رَبِّهِمْ وَلَٰكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
Dan (dia berkata): "Hai
kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak
akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu
dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".
Imam al-Razi berkata: Ayat ini
menjelaskan bahwa seolah-olah Nabi SAW berkata kepada mereka: “Sesungguhnya jika kamu semua mengharapkan
sesuatu yang zahir (nyata) dan pasti maka ketahuilah bahwa kamu akan
mendapatiku miskin, dan jika kamu menyangka kesibukanku menyampaikan dakwah ini
untuk mendapatkan harta-harta kamu sekalian, maka yakinlah bahwa sangkaan kamu
itu salah, sesungguhnya aku tidak menyampaikan risalah ini untuk mendapatkan imbalan
/ penghargaan apapun.
Kedua: Mendorong
manusia agar meluruskan niat dalam beramal dan memberikan peringatan agar tidak
berdusta dalam beramal.
Niat
adalah dasar segala perbuatan. Oleh karena itu setiap perbuatan manusia
diterima atau tidaknya di sisi Allah –subhaanahu wa ta’ala- tergantung
niatnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan melandaskan
niatnya murni karena Allah –subhaanahu wa ta’ala- semata dan
mengharapkan ridha-Nya dan perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, maka amalnya akan
diterima oleh Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Akan tetapi barangsiapa
melandaskan niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah, maka
segala perbuatan yang ia lakukan akan ditolak dan akan menjadi bencana baginya.
Yang menjadi tolak
ukur diterimanya suatu amalan adalah baiknya (kualitas) suatu amalan tersebut,
bukan banyaknya (kuantitas).
Kecenderungan
manusia dalam hal ini akan menjadikan mereka seperti tukang sihir (tukang
sulap) dan dajjal yang menggunakan agama untuk mendapatkan keuntungan dunia dan
kelezatannya. Ketahuilah bahwa dakwah itu tulen dan asli yang tidak menuntut pelakunya
mengharapkan apa – apa sebagai imbalan di dunia atas apa yang dilakukannya.
Ketiga: Mampu
menghimpun antara perasaan takut dan harap dalam dirinya.
Sebagai
seorang da’i dirinya harus berharap dan cemas atas setiap amalan baik yang ia
kerjakan. Ia berharap mendapatkan rahmat Allah SWT dan cemas seandainya
amalan baik yang ia kerjakan tidak diterima di sisi Allah SWT.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-‘Asqalani –rahimahullaahu ta’ala- berkata, “Yang
demikian dikarenakan orang mukmin mungkin sesekali datang kepadanya sesuatu
yang menodai amalannya sehingga merubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak
berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan dikarenakan ketakutan mereka
tersebut. Akan tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara’ dan
taqwa
Setiap
amalan yang didasari dengan sesuatu imbalan kadang-kadang mengundang kekurangan
dan ketidak sempurnaan. Pelakunya akan beramal mengikuti jumlah imbalan yang
akan diperolehnya , sedangkan agama Allah yang mulia ini tidak ditujukan untuk
mendapat imbalan di dunia tersebut tetapi ia mesti berdasarkan keikhlasan.
Keempat: Sesuatu amalan yang ada imbalan di dunia sebenarnya tergantung
dengan pemberi imbalan.
Pemberi imbalan akan memberikan imbalan sesuai dengan amal
yang dikerjakan. Oleh karena itu banyak di kalangan manusia apabila melihat
suatu kondisi memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dunia mereka sanggup
mengubah prinsip dan akidahnya semata-mata untuk mengejarnya sedangkan para
nabi dan da’i yang sholeh tetap teguh dan tsabat atas petunjuk dan jalan dakwah
yang lurus tanpa berubah karena iming-iming dunia.
Kelima: Mampu
berinteraksi baik dengan masyarakat dan tidak menjauh dari individu yang fajir (banyak
melakukan pelanggaran syari’at secara terang-terangan) karena Allah SWT terkadang
mengokohkan (menguat-kan) agama Islam ini lewat simpatisan dakwah yang fajir.
Seandainya
seseorang da’i itu dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang tidak
mengharapkan keuntungan dunia maka dia telah membuktikan kebenaran para da’i
atas dakwahnya dan mampu mengajak manusia untuk melakukan dakwah yang
dijalankan tersebut. Oleh sebab itu, dakwah Nabi SAW cukup memberi kesan yang
mendalam kepada pengikutnya.
Imam
al-Hasan al-Basri berkata: “Kemuliaan kamu di sisi manusia akan
kekal selama kamu tidak membutuhkan sesuatu apapun pada mereka, jika kamu
melakukannya maka ketahuilah mereka akan merendahkan kamu, benci apa yang kamu
sampaikan bahkan memusuhimu.”
Tanda seorang
da’i itu tidak berkeinginan atau mengharapkan kekayaan dari imbalan manusia, ia harus memiliki penghasilan dari usahanya sendiri
melalui usaha perniagaan, pertanian, wiraswasta atau pertukangan. Ayyub
As-Sakhtayani berkata kepada teman-temannya : “Senantiasalah kamu di pasar
(untuk tujuan berniaga) karena sesungguhnya orang yang sehat itu bila
memiliki kekayaan (cukup rezeki)”.
Para sahabat Rasulullah SAW dan
salafus shaleh sangat tidak memerlukan bantuan dan imbalan dari manusia.
Ini karena, mereka sudah memiliki sumber rezeki sendiri dan senantiasa bersifat
Qona’ah (merasa cukup dengan pemberian Allah , nrimo ing pandum). Tetapi sumber
rezeki yang ada pada seorang da’i tadi tidaklah membawa kepada sifat tamak atau
rakus dengan menghabiskan sisa-sisa umurnya untuk mengumpulkan harta dan
kekayaan.
Terkadang seorang da’i itu mudah
diterima oleh masyarakat sehingga akan terpancar kasih dan sayang mereka
kepadanya melalui pemberian, hubungan yang erat, memberikan bantuan maupun pelayanan
serta menghadiri undangannya.
Seorang da’i yang merasa tidak puas dengan
imbalan yang diterima dapat mempermalukan dakwahnya di tengah masyarakat,
bahkan hal itu dapat menyebabkan perjalanan dakwahnya menjadi terganggu dan
mengundang fitnah terhadap kepribadiannya. Hal itu akan menjadikan da’i
tersebut memiliki citra yang buruk dan tercela disepanjang perjalanan hidupnya.
Para da’i yang jujur dan benar di
jalan dakwah, akan senantiasa dermawan dalam beramal dan bukan mengharap
imbalan. Mereka adalah yang paling banyak memberi dan memiliki jiwa yang besar
serta mempunyai maruah (harga diri). Maruah atau harga diri ini merupakan salah
satu ciri-ciri syaksiyah islamiyah dan inti kesiqohan bagi seorang
da’i.
Imam
Mawardi menyatakan : “ Maruah adalah perhiasan diri dan
al-himmah (keazaman dan cita-cita tinggi)”. Sifat
‘al-muruah’ ( menjaga harga diri) tidak akan ada melainkan jika ada sifat
‘iffah, kesucian dan memelihara diri. Sifat ‘iffah ialah dengan menjauhi
perkara yang haram dan dosa, manakala sifat suci bersih pula dengan
menjauhi ketamakan diri dan terlibat dalam perkara yang meragukan sedangkan
sifat memelihara diri ialah dengan menjaga diri dari memikul (mengharap) imbalan
atau pemberian dari manusia serta membebaskan diri dari meminta
pertolongan dengan makhluk.
Kata
Imam Mawardi : “ Orang yang berhajat atau berharap sesuatu dari
manusia lain, setiap dari mereka dianiaya haknya, mendapat kehinaan dan menjadi
beban pada orang lain.”
Adapun jika seorang
da’i itu mengajar, menjadi imam atau menyampaikan khutbah dan dia memperoleh
pendapatan dari kerja tersebut, maka ia dibenarkan syara’ untuk mendapatkan tambahan
atas sebab pekerjaan atau profesi tadi. Termasuk juga dalam urusan
tanggungjawab kepimpinan umum (contohnya : sebagai pegawai pemerintah resmi
atau institusi dan departemen ) dan memegang posisi legislatif (seperti bekerja
sebagai hakim, qodi, pengacara) atau yang sejenisnya, maka da’i tadi berhak
mendapat imbalan dari pekerjaan (profesi) tersebut dan tidak terlarang.
Wallahu
a’lam bishowab
Griya Permata Cisoka
,11 Oktober 2017
https://maalimfitariq.wordpress.com
Pembahasan
lengkap tentang materi ini bisa mengikuti program dibawah :
15
Kaidah Dakwah kepada Allah merupakan beberapa kaidah yang sangat penting dalam
meluruskan pemahaman umat Islam yang jauh dari Al-Quran dan Sunnah. Tanpa
Dakwah, Manusia akan kehilangan arah dan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu
beribadah hanya kepada Alloh dengan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rosul-Nya.
Dakwah Ilalloh mempunyai kaidah-kaidah dalam mencapai tujuannya.
Temukan jawabannya dalam CD
Mp3 . Semua hal yang berkaitan dengan dakwah dikaji & dibahas oleh Ustadz
Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I. berdasarkan dalil dari Al-Quran, Sunnah, dan Ijma
para Sahabat.
Kaidah 01 : Sebagai jalan
keselamatan di dunia dan akhirat
Kaidah 02 : Sebagai perantara
hidayah
Kaidah 03 : Meraih Pahala
dengan Dakwah
Kaidah 04 : Menggapai derajat
Mubaligh
Kaidah 05 : Mengerahkan
seluruh kemampuan
Kaidah 06 : Dai merupakan
cerminan dari dakwah
Kaidah 07 : Menempatkan
sesuatu pada tempatnya
Kaidah 08 : Bidah itiqodi
lebih dahulu muncul dari bidah amali
Kaidah 09 : Ruang lingkup
dakwah yang sangat luas
Kaidah 10 : Waktu merupakan
unsur dakwah yang sangat penting
Kaidah 11 : Dakwah merupakan
seni kepemimpinan dan pengawasan
Kaidah 12 : Dakwah merupakan
bagian terbesar dari jihad
Kaidah 13 : Dakwah merupakan
dagangan yang mulia
Kaidah 14 : Mengenal objek
dakwah
Kaidah 15 : Mengenal medan
dakwahnya
https://maalimfitariq.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar