Kamis, Mei 03, 2018

DAKWAH ADALAH PERNIAGAAN YANG TERAMAT MULIA

Kaidah Dakwah 13:
DAKWAH ADALAH PERNIAGAAN YANG TERAMAT MULIA , TIDAK BISA DIJUAL DENGAN MATERI SEBESAR APAPUN , KARENA HARTA DUNIA DAPAT MERUSAKKAN MARUAH (MARTABAT) DA’I

Seorang da’i itu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya mengikuti perintah Allah Ta’ala. Tugas dakwah ini lebih mulia dan amat berat jika dibandingkan dengan tugas lain di dunia. Dimana orang-orang yang berjuang di dalamnya akan mendapatkan kebaikan yang berlipat dari sisi Allah SWT. Bahkan Allah SWT telah memberikan gelar ‘khairu ummat’ atas umat ini (Islam) salah satunya karena aktivitas dakwah yang berada di pundak kaum Muslimin.

Allah SWT berfirman , 
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. ‘Ali Imran : 110).

Tiada satu tugas pun di atas muka bumi ini yang syarat  (penuh) dengan segala beban dan kesulitan (cobaan) melainkan tugas dakwah. Dakwah itu bukan saja menuntut pengorbanan jiwa dan harta, bahkan terpaksa berjauhan dengan keluarga dan negara. Ia tidak akan mampu dibalas dengan kesenangan dunia.

Para anbiya’ senantiasa berpegang teguh dengan prinsip ini sebagaimana kata mereka di dalam firman Allah Surah al-An`am: Ayat 90.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
Rasulullah SAW diperintahkan supaya beriltizam (berkomitmen) dengan manhaj ini. Ketika penduduk Mekah menolak dakwah Nabi SAW, turunlah ayat tersebut sebab penolakan mereka sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Tur: Ayat 40 :
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
Ataukah engkau (Muhammad) meminta imbalan kepada mereka sehingga mereka dibebani hutang?

Ketahuilah bahwa seseorang yang mencari keuntungan dunia tidak akan melakukan sesuatu perkara melainkan untuk memperoleh imbalan dan penghargaan duniawi.

Demikianlah kisah tukang sihir dengan Nabi Musa di mana jelas terbukti ketika mereka berkata kepada Fir’aun di dalam Surah Asy-Syu`ara’ (26) Ayat 41-42 :
فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ
Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, merekapun bertanya kepada Fir'aun: "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang? (QS. Asy-Syu’ara :41)

Kemudian Firaun membenarkan mereka dengan katanya :
قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ إِذًا لَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
Fir'aun menjawab: "Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)". (QS. Asy-Syu’ara :42)
Setelah iman terpahat dalam jiwa dan sanubari mereka, mereka tidak meninggalkan untuk mendapatkan ganjaran bahkan kata mereka kepadanya  dalam QS Thaha(20) :72
قَالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَىٰ مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا ۖ فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ ۖ إِنَّمَا تَقْضِي هَٰذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.

Bentuk - bentuk imbalan atau penghargaan yang perlu dijauhi oleh da’i.

Imbalan dan penghargaan ini bukan semata-mata hanya berkaitan dengan harta bahkan ia mencakup setiap manfaat yang diterima dari hasil dakwah. Hendaknya seorang da’i tidak menanti - nanti atau mengharapkan ucapan penghargaan atau berharap untuk terkenal.

Beberapa faedah dan hukum terkait dengan tidak mengharapkannya  imbalan dalam dakwah :
Pertama: Mendorong keimanan terhadap takdir dan beramal yang menjadikan faktor keberhasilan.

Sebagian orang beranggapan bahwa seorang da’i itu memang telah ditentukan bahwa dakwah yang dilakukan tersebut menghubungkannya dengan rezeki dan harta. Dakwah seorang da’i itu bertujuan agar manusia mengikuti dan mendapat manfaat dari dakwah yang disampaikan sekalipun dakwah itu dilakukan oleh sebagian besar da’i miskin yang hanya bersandar pada Ridho Alloh.

Allah Ta`ala berfirman dalam Surah Hud: Ayat 29
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ ۚ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا ۚ إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَلَٰكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".

Imam al-Razi berkata: Ayat ini menjelaskan bahwa seolah-olah Nabi SAW berkata kepada mereka: “Sesungguhnya jika kamu semua mengharapkan sesuatu yang zahir (nyata) dan pasti maka ketahuilah bahwa kamu akan mendapatiku miskin, dan jika kamu menyangka kesibukanku menyampaikan dakwah ini untuk mendapatkan harta-harta kamu sekalian, maka yakinlah bahwa sangkaan kamu itu salah, sesungguhnya aku tidak menyampaikan risalah ini untuk mendapatkan imbalan / penghargaan apapun.

Kedua: Mendorong manusia agar meluruskan niat dalam beramal dan memberikan peringatan agar tidak berdusta dalam beramal.

Niat adalah dasar segala perbuatan. Oleh karena itu setiap perbuatan manusia diterima atau tidaknya di sisi Allah –subhaanahu wa ta’ala- tergantung niatnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan melandaskan niatnya murni karena Allah –subhaanahu wa ta’ala- semata dan mengharapkan ridha-Nya dan perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, maka amalnya akan diterima oleh Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Akan tetapi barangsiapa melandaskan niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah, maka segala perbuatan yang ia lakukan akan ditolak dan akan menjadi bencana baginya.

Yang menjadi tolak ukur diterimanya suatu amalan adalah baiknya (kualitas) suatu amalan tersebut, bukan banyaknya (kuantitas).
Kecenderungan manusia dalam hal ini akan menjadikan mereka seperti tukang sihir (tukang sulap) dan dajjal yang menggunakan agama untuk mendapatkan keuntungan dunia dan kelezatannya. Ketahuilah bahwa dakwah itu tulen dan asli yang tidak menuntut pelakunya mengharapkan apa – apa sebagai imbalan di dunia atas apa yang dilakukannya.

Ketiga: Mampu menghimpun antara perasaan takut dan harap dalam dirinya. 

Sebagai seorang da’i dirinya harus berharap dan cemas atas setiap amalan baik yang ia kerjakan. Ia berharap mendapatkan rahmat Allah SWT dan cemas seandainya amalan baik yang ia kerjakan tidak diterima di sisi Allah SWT.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani –rahimahullaahu ta’ala- berkata, “Yang demikian dikarenakan orang mukmin mungkin sesekali datang kepadanya sesuatu yang menodai amalannya sehingga merubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan dikarenakan ketakutan mereka tersebut. Akan tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara’ dan taqwa

Setiap amalan yang didasari dengan sesuatu imbalan kadang-kadang mengundang kekurangan dan ketidak sempurnaan. Pelakunya akan beramal mengikuti jumlah imbalan yang akan diperolehnya , sedangkan agama Allah yang mulia ini tidak ditujukan untuk mendapat imbalan di dunia tersebut tetapi ia mesti berdasarkan keikhlasan.

Keempat: Sesuatu amalan yang ada imbalan di dunia sebenarnya tergantung dengan pemberi imbalan.

Pemberi imbalan akan memberikan imbalan sesuai dengan amal yang dikerjakan. Oleh karena itu banyak di kalangan manusia apabila melihat suatu kondisi memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dunia mereka sanggup mengubah prinsip dan akidahnya semata-mata untuk mengejarnya sedangkan para nabi dan da’i yang sholeh tetap teguh dan tsabat atas petunjuk dan jalan dakwah yang lurus tanpa berubah karena iming-iming dunia.

Kelima: Mampu berinteraksi baik dengan masyarakat dan tidak menjauh dari individu yang fajir (banyak melakukan pelanggaran syari’at secara terang-terangan) karena Allah SWT terkadang mengokohkan (menguat-kan) agama Islam ini lewat simpatisan dakwah yang fajir.

Seandainya seseorang da’i itu dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang tidak mengharapkan keuntungan dunia maka dia telah membuktikan kebenaran para da’i atas dakwahnya dan mampu mengajak manusia untuk melakukan dakwah yang dijalankan tersebut. Oleh sebab itu, dakwah Nabi SAW cukup memberi kesan yang mendalam kepada pengikutnya.

Imam al-Hasan al-Basri berkata:  “Kemuliaan kamu di sisi manusia akan kekal selama kamu tidak membutuhkan sesuatu apapun pada mereka, jika kamu melakukannya maka ketahuilah mereka akan merendahkan kamu, benci apa yang kamu sampaikan bahkan memusuhimu.”

Tanda seorang da’i itu tidak berkeinginan atau mengharapkan kekayaan dari imbalan manusia,  ia harus memiliki penghasilan dari usahanya sendiri melalui usaha perniagaan, pertanian, wiraswasta atau pertukangan. Ayyub As-Sakhtayani berkata kepada teman-temannya : “Senantiasalah kamu di pasar  (untuk tujuan berniaga) karena sesungguhnya orang yang sehat itu bila  memiliki kekayaan (cukup rezeki)”.

Para sahabat Rasulullah SAW dan salafus shaleh sangat tidak memerlukan  bantuan dan imbalan dari manusia. Ini karena, mereka sudah memiliki sumber rezeki sendiri dan senantiasa bersifat Qona’ah (merasa cukup dengan pemberian Allah , nrimo ing pandum). Tetapi sumber rezeki yang ada pada seorang da’i tadi tidaklah membawa kepada sifat tamak atau rakus dengan menghabiskan sisa-sisa umurnya untuk mengumpulkan harta dan kekayaan.

Terkadang seorang da’i itu mudah diterima oleh masyarakat sehingga akan terpancar kasih dan sayang mereka kepadanya melalui pemberian, hubungan yang erat, memberikan bantuan maupun pelayanan serta menghadiri undangannya.

Seorang da’i yang merasa tidak puas dengan imbalan yang diterima dapat mempermalukan dakwahnya di tengah masyarakat, bahkan hal itu dapat menyebabkan perjalanan dakwahnya menjadi terganggu dan mengundang fitnah terhadap kepribadiannya. Hal itu akan menjadikan da’i tersebut memiliki citra yang buruk dan tercela disepanjang perjalanan hidupnya.

Para da’i yang jujur dan benar di jalan dakwah, akan senantiasa dermawan dalam beramal dan bukan mengharap imbalan. Mereka adalah yang paling banyak memberi dan memiliki jiwa yang besar serta mempunyai maruah (harga diri). Maruah atau harga diri ini merupakan salah satu ciri-ciri syaksiyah islamiyah  dan inti kesiqohan bagi seorang da’i.

Imam Mawardi menyatakan : “ Maruah adalah perhiasan diri dan  al-himmah (keazaman dan cita-cita tinggi)”.  Sifat ‘al-muruah’ ( menjaga harga diri) tidak akan ada melainkan jika ada sifat ‘iffah, kesucian dan memelihara diri. Sifat ‘iffah ialah dengan menjauhi perkara yang haram dan dosa, manakala  sifat suci bersih pula dengan menjauhi ketamakan diri dan terlibat dalam perkara yang meragukan sedangkan sifat memelihara diri  ialah dengan menjaga diri dari memikul (mengharap) imbalan atau pemberian dari manusia serta membebaskan diri dari  meminta pertolongan dengan makhluk.

Kata Imam Mawardi : “ Orang yang berhajat atau berharap sesuatu dari manusia lain, setiap dari mereka dianiaya haknya, mendapat kehinaan dan menjadi beban pada orang lain.”

Adapun jika seorang da’i itu mengajar, menjadi imam atau menyampaikan khutbah dan dia memperoleh pendapatan dari kerja tersebut, maka ia dibenarkan syara’ untuk mendapatkan tambahan atas sebab pekerjaan atau profesi tadi. Termasuk juga dalam urusan tanggungjawab kepimpinan umum (contohnya : sebagai pegawai pemerintah resmi atau institusi dan departemen ) dan memegang posisi legislatif (seperti bekerja sebagai hakim, qodi, pengacara) atau yang sejenisnya, maka da’i tadi berhak mendapat imbalan dari pekerjaan (profesi) tersebut dan tidak terlarang.

Wallahu a’lam bishowab
Griya Permata Cisoka ,11 Oktober 2017
https://maalimfitariq.wordpress.com

  
Pembahasan lengkap tentang materi ini bisa mengikuti program dibawah :

15 Kaidah Dakwah kepada Allah merupakan beberapa kaidah yang sangat penting dalam meluruskan pemahaman umat Islam yang jauh dari Al-Quran dan Sunnah. Tanpa Dakwah, Manusia akan kehilangan arah dan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah hanya kepada Alloh dengan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rosul-Nya. Dakwah Ilalloh mempunyai kaidah-kaidah dalam mencapai tujuannya.

Temukan jawabannya dalam CD Mp3 . Semua hal yang berkaitan dengan dakwah dikaji & dibahas oleh Ustadz Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I. berdasarkan dalil dari Al-Quran, Sunnah, dan Ijma para Sahabat.

Kaidah 01 : Sebagai jalan keselamatan di dunia dan akhirat
Kaidah 02 : Sebagai perantara hidayah
Kaidah 03 : Meraih Pahala dengan Dakwah
Kaidah 04 : Menggapai derajat Mubaligh
Kaidah 05 : Mengerahkan seluruh kemampuan
Kaidah 06 : Dai merupakan cerminan dari dakwah
Kaidah 07 : Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Kaidah 08 : Bidah itiqodi lebih dahulu muncul dari bidah amali
Kaidah 09 : Ruang lingkup dakwah yang sangat luas
Kaidah 10 : Waktu merupakan unsur dakwah yang sangat penting
Kaidah 11 : Dakwah merupakan seni kepemimpinan dan pengawasan
Kaidah 12 : Dakwah merupakan bagian terbesar dari jihad
Kaidah 13 : Dakwah merupakan dagangan yang mulia
Kaidah 14 : Mengenal objek dakwah
Kaidah 15 : Mengenal medan dakwahnya




https://maalimfitariq.wordpress.com

Tidak ada komentar: