Kisah
Penghafal al-Qur'an yang Menjadi Nasrani
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
merupakan sosok yang sangat arif, cerdas, dan bijaksana. Saat muda, ia adalah
seorang yang sangat jenius, cerdas, dan gemar menuntut ilmu. Saat itu ia
berkawan dekat dengan cendekiawan bernama Ibnu as-Saqa (ada yang menyebutnya Abdah Bin Abdurrahim) dan Abu Said Abdullah
bin Abi ‘Ushrun.
Suatu
hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bersama kedua temannya sepakat untuk
mengunjungi seorang alim bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani[1] di
pinggiran kota Baghdad. Sebelum berangkat, Ibnu as-Saqa dan Ibnu Abi ‘Ushrun
berdiskusi mengenai tujuan mereka berkunjung kepada Syaikh Abu Yakub Yusuf
al-Hamdani.
“Aku akan
menanyakan persoalan yang susah sehingga ia akan kebingungan dan tidak bisa
menjawab,” kata Ibnu as-Saqa.
“Sedangkan
aku akan mengajukan pertannyaan ilmiah, agar aku bisa melihat seperti apa
kealimannya dan apa jawabannya,” ucap Ibn Abi ‘Ushrun.[2]
Begitulah
tujuan mereka berdua. Lalu, bagaimana dengan Abdul Qadir muda? Apa tujuannnya
berkunjung kepada Syaikh Yusuf al-Hamdani? “Aku berlindung kepada Allah dari
mempertannyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin bersilaturahim
kepada beliau sehingga mendapatkan barakah
(bertambahnya kebaikan dari) beliau,” kata Abdul Qadir muda.
Kemudian
berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani. Sesampai di rumah Syaikh Yusuf, mereka bertiga memasuki
majelis beliau dan duduk dengan tenang. Syaikh Yusuf memandang Ibnu as-Saqa
lalu berkata, “Wahai Ibnu
as-Saqa, kamu berkunjung kemari untuk mengujiku dengan pertanyaan itu. Jawabnya
adalah begini.” Syaikh Yusuf lalu mengurai jawabannya secara lengkap dan
gamblang. Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, “Aku melihat api kekufuran
menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”
Selanjutnya Syaikh Yusuf
menatap Ibnu Abi ‘Ushrun sambil berkata, “Sedangkan kamu, hai Ibnu Abi ‘Ushrun, kamu
kemari dengan tujuan menanyakan permasaalahan ilmiah, jawabannya adalah
begini.” Syaikh Yusuf lalu menjelaskan jawabannya secara detail, lengkap, dan
ilmiah. Ia lalu berkata kepada Ibnu Abi ‘Ushrun, “Aku melihat dunia
mengejarmu.” [3]
Lalu Syaikh
Yusuf berkata kepada Abdul Qadir muda, “Aku memohonkan
ridha dari Allah dan Rasul untukmu sebab adabmu yang baik. Aku melihat kelak engkau akan mendapat
kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Aku melihat bahwa
kelak kamu akan berkata, ‘Kedua kakiku ini berada di atas pundak/leher setiap
para wali.’”
Akhir
Hayat Ibnu as-Saqa
Mereka
bertiga kemudian keluar dari rumah Syaikh Yusuf. Beberapa tahun pun
berlalu. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Ibnu as-Saqa sibuk belajar
sehingga ia menjadi cendekiawan hebat dan terkenal sebagai ahli debat. Tidak
terhitung sudah berapa orang yang telah ia kalahkan dalam berdebat.
Selain
sebagai ahli debat, Ibnu as-Saqa juga seorang qurra’ (ahli
baca al-Qur’an) yang hafal al-Qur’an. Namun sayangnya, pada kemudian hari, Ibnu
as-Saqa justru berpindah agama menjadi Nasrani hingga ia meninggal dunia. Na’udzubillah
min dzalik, Ibnu as-Saqa meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.
Peristiwa kemurtadan Ibnu
as-Saqa ini bermula ketika ia bepergian ke Romawi sebagai utusan Khalifah.
Setiba di Romawi, ternyata ia terpikat oleh keelokan putri raja Romawi.
Akhirnya, ia mengutarakan keinginannya untuk mempersunting putri tersebut.
Namun, sang putri tidak mau menikah dengannya, kecuali jika Ibnu as-Saqa mau
memeluk agama Nasrani. Singkat cerita, Ibnu as-Saqa pun memeluk agama Nasrani. Mendekati
akhir hayatnya, Ibnu as-Saqa menderita sakit cukup parah. Tangannya memegang
kipas untuk menghalau lalat di wajahnya. Saat ditanya tentang hafalan
al-Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya telah lupa, kecuali satu ayat yang masih
teringat dalam kepalanya, yaitu:
رُبَمَا
يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang
yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka
dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (Q.S. al-Hijr: 2)
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖفَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan
dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak
mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS. Al Hijr: 3)
Bagaimana
Nasib Ibnu Abi ‘Ushrun dan Syaikh Abdul Qadir?
Ibnu Abi
‘Ushrun berhijrah ke Dimasyqa (Damaskus). Di sana ia ditugaskan oleh Sultan
as-Shalih Nuruddin asy-Syahid untuk mengurusi wakaf dan sedekah. Sayangnya,
kilauan dunia selalu datang menggodanya sehingga ia jatuh dalam pelukan gemerlap
duniawi. “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf tentangku,” batin
pilu Ibnu Abi ‘Ushrun.
Adapun
Syaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah, juga di
sisi manusia, sehingga sampai suatu hari ia pun berkata, “Sungguh benar apa
yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf, Kedua kakiku berada di atas pundak/leher
setiap wali.”
*] Semoga
kita bisa memetik ibrah atau pelajaran penting dari kisah Ibnu
as-Saqa, Ibnu Abi ‘Ushrun, dan Syaikh Abdul Qadir ini sehingga kita dikaruniai
nikmat ilmu, amal, keshalihan, akhlak yang mulia, kerendahan hati, serta akhir
hidup yang husnul khatimah. Amin.
Sumber tulisan:
§ Syaikh ‘Abdul Majid bin
Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafi’I, Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala
al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiah, halaman
341-344, Darul Bairuti.
§ Kisah tersebut dinukil oleh
Al-Hâfizh Ibnu Katsir dalam "al-Bidayah wan Nihayah" (juz 11 hal. 64)
dari Ibnul Jauzî, yg menceritakan bahwa 'Abdah bin Abdurrahim murtad gara²
terfitnah wanita Romawi yg cantik.
§ Pentahqiq kitab al-Bidayah wan
Nihayah, yaitu Syaikh Abdullâh at-Turki mengomentari kisah tersebut:
المصدر السابق أي المنتظم الجزء12 الصفحة 302: فيه
أن هذه القصة إنما وقعت لشاب كان في صحبة عبدة, فالذي تنصر إنما هو ذلك الشاب وليس
((عبدة بن عبد الرحيم)) ((وعبدة)) هو راوي القصة وليس هو صاحبها.
§ Sumber referensi sebelumnya, yaitu
al-Muntazham juz 12 hal. 302, menjelaskan bahwa kisah ini sebenarnya terjadi
pada seorang pemuda yg menemani Abdah. Jadi yg murtad menjadi nasrani itu
adalah pemuda ini, bukanlah 'Abdah bin Abdurrahim, sedangkan Abdah sendiri
adalah periwayat Kisah tersebut, bukanlah pelakunya."
§ Pernyataan Syaikh Abdullâh at-Turki
di atas, didukung oleh riwayat kisah yg valid, yaitu yg murtad adalah pemuda yg
menemani Abdah, sedangkan Abdah adalah yg menceritakan. Hal ini bisa dicek di
kitab :
§ ☝🏼 Al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wal
Muluk, karya Abul Farj al-Jauzi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 1412, cet 1, juz
12 hal 301.
§ ☝🏼 Tarikhul Islam wa Wafiyatul
Masyahir wal A'lam karya Adz-Dzahabî, Darul Gharb al-Islâmi, 2003, cet 1, juz 5
hal 1176
§ Mukhtashar Tarikh Dimasyqi karya
Ibnu Syaikh, yg ditulis oleh Ibnu Manzhur, Darun Nasyr, 1402, cet 1, juz 15 hal
296.Dan kitab Tarikh (sejarah) lainnya
§
Penilaian
para ulama terhadap Abdah bin Abdurrahim:
~ Abu Hâtim pernah ditanya tentang
Abdah bin Abdurrahim, maka beliau menjawab : Abdah seorang yg jujur
(shaduq).
~ An-Nasa'i menilainya sebagai orang
yang jujur dan tdk ada sesuatu padanya.
§ Dll
§ KESIMPULAN:
Abdah bin Abdurrahim adalah mujahid yg tidak murtad, yg murtad adalah seorang
pemuda yg menyertai Abdah, dan dikisahkan sendri oleh Abdah kemurtadannya gara²
terfitnah oleh wanita cantik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar