Kamis, Mei 03, 2018

Kisah Penghafal al-Qur'an yang Menjadi Nasrani

Kisah Penghafal al-Qur'an yang Menjadi Nasrani
           
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani merupakan sosok yang sangat arif, cerdas, dan bijaksana. Saat muda, ia adalah seorang yang sangat jenius, cerdas, dan gemar menuntut ilmu. Saat itu ia berkawan dekat dengan cendekiawan bernama Ibnu as-Saqa (ada yang menyebutnya Abdah Bin Abdurrahim) dan Abu Said Abdullah bin Abi ‘Ushrun.

Suatu hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bersama kedua temannya sepakat untuk mengunjungi seorang alim bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani[1] di pinggiran kota Baghdad. Sebelum berangkat, Ibnu as-Saqa dan Ibnu Abi ‘Ushrun berdiskusi mengenai tujuan mereka berkunjung kepada Syaikh Abu Yakub Yusuf al-Hamdani.

“Aku akan menanyakan persoalan yang susah sehingga ia akan kebingungan dan tidak bisa menjawab,” kata Ibnu as-Saqa.

“Sedangkan aku akan mengajukan pertannyaan ilmiah, agar aku bisa melihat seperti apa kealimannya dan apa jawabannya,” ucap Ibn Abi ‘Ushrun.[2]

Begitulah tujuan mereka berdua. Lalu, bagaimana dengan Abdul Qadir muda? Apa tujuannnya berkunjung kepada Syaikh Yusuf al-Hamdani? “Aku berlindung kepada Allah dari mempertannyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin bersilaturahim kepada beliau sehingga mendapatkan barakah (bertambahnya kebaikan dari) beliau,” kata Abdul Qadir muda.

Kemudian berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani. Sesampai di rumah Syaikh Yusuf, mereka bertiga memasuki majelis beliau dan duduk dengan tenang. Syaikh Yusuf memandang Ibnu as-Saqa lalu berkata, “Wahai Ibnu as-Saqa, kamu berkunjung kemari untuk mengujiku dengan pertanyaan itu. Jawabnya adalah begini.” Syaikh Yusuf lalu mengurai jawabannya secara lengkap dan gamblang. Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, “Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”

Selanjutnya Syaikh Yusuf menatap Ibnu Abi ‘Ushrun sambil berkata, “Sedangkan kamu, hai Ibnu Abi ‘Ushrun, kamu kemari dengan tujuan menanyakan permasaalahan ilmiah, jawabannya adalah begini.” Syaikh Yusuf lalu menjelaskan jawabannya secara detail, lengkap, dan ilmiah. Ia lalu berkata kepada Ibnu Abi ‘Ushrun, “Aku melihat dunia mengejarmu.” [3]

Lalu Syaikh Yusuf  berkata kepada Abdul Qadir muda, “Aku memohonkan ridha dari Allah dan Rasul untukmu sebab adabmu yang baik. Aku melihat kelak engkau akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Aku melihat bahwa kelak kamu akan berkata, ‘Kedua kakiku ini berada di atas pundak/leher setiap para wali.’”

Akhir Hayat Ibnu as-Saqa
Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah Syaikh Yusuf. Beberapa tahun pun berlalu. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Ibnu as-Saqa sibuk belajar sehingga ia menjadi cendekiawan hebat dan terkenal sebagai ahli debat. Tidak terhitung sudah berapa orang yang telah ia kalahkan dalam berdebat.

Selain sebagai ahli debat, Ibnu as-Saqa juga seorang qurra’ (ahli baca al-Qur’an) yang hafal al-Qur’an. Namun sayangnya, pada kemudian hari, Ibnu as-Saqa justru berpindah agama menjadi Nasrani hingga ia meninggal dunia. Na’udzubillah min dzalik, Ibnu as-Saqa meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.

Peristiwa kemurtadan Ibnu as-Saqa ini bermula ketika ia bepergian ke Romawi sebagai utusan Khalifah. Setiba di Romawi, ternyata ia terpikat oleh keelokan putri raja Romawi. Akhirnya, ia mengutarakan keinginannya untuk mempersunting putri tersebut. Namun, sang putri tidak mau menikah dengannya, kecuali jika Ibnu as-Saqa mau memeluk agama Nasrani. Singkat cerita, Ibnu as-Saqa pun memeluk agama Nasrani. Mendekati akhir hayatnya, Ibnu as-Saqa menderita sakit cukup parah. Tangannya memegang kipas untuk menghalau lalat di wajahnya. Saat ditanya tentang hafalan al-Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya telah lupa, kecuali satu ayat yang masih teringat dalam kepalanya, yaitu:

رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (Q.S. al-Hijr: 2)
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖفَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS. Al Hijr: 3)


Bagaimana Nasib Ibnu Abi ‘Ushrun dan Syaikh Abdul Qadir?


Ibnu Abi ‘Ushrun berhijrah ke Dimasyqa (Damaskus). Di sana ia ditugaskan oleh Sultan as-Shalih Nuruddin asy-Syahid untuk mengurusi wakaf dan sedekah. Sayangnya, kilauan dunia selalu datang menggodanya sehingga ia jatuh dalam pelukan gemerlap duniawi. “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf tentangku,” batin pilu Ibnu Abi ‘Ushrun.

Adapun Syaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah, juga di sisi manusia, sehingga sampai suatu hari ia pun berkata, “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf, Kedua kakiku berada di atas pundak/leher setiap wali.”

*] Semoga kita bisa memetik ibrah atau pelajaran penting dari kisah Ibnu as-Saqa, Ibnu Abi ‘Ushrun, dan Syaikh Abdul Qadir ini sehingga kita dikaruniai nikmat ilmu, amal, keshalihan, akhlak yang mulia, kerendahan hati, serta akhir hidup yang husnul khatimah. Amin. 

Sumber tulisan: 

§  Syaikh ‘Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafi’I, Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiah, halaman 341-344, Darul Bairuti.
§  Kisah tersebut dinukil oleh Al-Hâfizh Ibnu Katsir dalam "al-Bidayah wan Nihayah" (juz 11 hal. 64) dari Ibnul Jauzî, yg menceritakan bahwa 'Abdah bin Abdurrahim murtad gara² terfitnah wanita Romawi yg cantik.
§  Pentahqiq kitab al-Bidayah wan Nihayah, yaitu Syaikh Abdullâh at-Turki mengomentari kisah tersebut:
المصدر السابق أي المنتظم الجزء12 الصفحة 302: فيه أن هذه القصة إنما وقعت لشاب كان في صحبة عبدة, فالذي تنصر إنما هو ذلك الشاب وليس ((عبدة بن عبد الرحيم)) ((وعبدة)) هو راوي القصة وليس هو صاحبها. 
§  Sumber referensi sebelumnya, yaitu al-Muntazham juz 12 hal. 302, menjelaskan bahwa kisah ini sebenarnya terjadi pada seorang pemuda yg menemani Abdah. Jadi yg murtad menjadi nasrani itu adalah pemuda ini, bukanlah 'Abdah bin Abdurrahim, sedangkan Abdah sendiri adalah periwayat Kisah tersebut, bukanlah pelakunya."
§  Pernyataan Syaikh Abdullâh at-Turki di atas, didukung oleh riwayat kisah yg valid, yaitu yg murtad adalah pemuda yg menemani Abdah, sedangkan Abdah adalah yg menceritakan. Hal ini bisa dicek di kitab :
§  🏼 Al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wal Muluk, karya Abul Farj al-Jauzi, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 1412, cet 1, juz 12 hal 301.
§  🏼 Tarikhul Islam wa Wafiyatul Masyahir wal A'lam karya Adz-Dzahabî, Darul Gharb al-Islâmi, 2003, cet 1, juz 5 hal 1176
§  Mukhtashar Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Syaikh, yg ditulis oleh Ibnu Manzhur, Darun Nasyr, 1402, cet 1, juz 15 hal 296.Dan kitab Tarikh (sejarah) lainnya
§  Penilaian para ulama terhadap Abdah bin Abdurrahim:
~ Abu Hâtim pernah ditanya tentang Abdah bin Abdurrahim, maka beliau menjawab : Abdah seorang yg jujur (shaduq). 
~ An-Nasa'i menilainya sebagai orang yang jujur dan tdk ada sesuatu padanya. 
§  Dll
§  KESIMPULAN:
Abdah bin Abdurrahim adalah mujahid yg tidak murtad, yg murtad adalah seorang pemuda yg menyertai Abdah, dan dikisahkan sendri oleh Abdah kemurtadannya gara² terfitnah oleh wanita cantik. 


Tidak ada komentar: