Haqiqatul ‘Ibadah
Dalam pembahasan – pembahasan
sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa manusia diberi amanah oleh Allah Ta’ala untuk
beribadah.
Bahkan ibadah
inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat,
51: 56).
Ibnu Katsir berkata
tentang ayat ini bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan makhluk
untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barang-siapa yang
taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan
barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyik-sanya dengan
siksaan yang sangat keras.
Ibnu Katsir juga
menge-mukakan tafsiran Ali bin Abi Thalib Kwh terhadap ayat ini,
dimana Ali bin Abi Thalib kwh berkata, Maknanya adalah tujuan-Ku
(menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku.”
Sedangkan Mujahid
me-ngatakan bahwa Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan
Aku larang. Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.
Ibnu Katsir
mengatakan bahwa tafsiran seperti ini didukung oleh makna firman Allah ta’ala, “Apakah
manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia.” (QS.
Al-Qiyamah : 36). Asy-Syafi’i menjelaskan tafsiran ‘sia-sia’ yaitu, “(Apakah
mereka Ku-biarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?!”
*****
Ibadah yang
dilakukan manusia kepada Allah Ta’ala hakikatnya adalah karena kesadaran
(asy-syu’ur) terhadap dua hal.
Pertama, asy-syu’ur bikatsrati
ni’amillah (kesadaran akan banyaknya nikmat-nikmat Allah).
Seorang manusia
akan selalu termotivasi untuk melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala jika
ia menya-dari bahwa seluruh kenik-matan yang dirasakannya selama ini adalah
berasal dari Allah Ta’ala.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl, 16:
53)
Menyadari pula
bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepa-danya tak
terhingga banyaknya.
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl,
16: 18)
Itulah sebabnya
mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
melaksa-nakan ibadah shalat malam hingga kedua kakinya bengkak. Manakala
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan
ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan
datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah
jika aku menjadi hamba yang bersyu-kur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, asy-syu’ur bi
‘adzhomatillah (kesadaran akan keagungan Allah).
Seorang manusia pun
akan termotivasi untuk melaku-kan ibadah kepada Allah Ta’ala jika
ia menya-dari betapa besar keagungan-Nya. Dialah Allah yang menjadikan bumi
sebagai tempat kediaman, Dialah yang menghidupkan manusia di atasnya dan
melimpahkan rezeki kepadanya, Dialah yang menjadikan langit dengan
bintang-bintang yang gemerlapan.
Dialah yang telah
menjadi-kan manusia dalam bentuk yang terbaik di antara para makhluk-Nya,
Dialah yang memberikan kepada ma-nusia makanan dan minuman yang baik sebagai
rezeki dari-Nya.
اللهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ
بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Allah-lah yang
menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk
kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang
baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. Al-Mu’min, 40: 64)
Oleh karena itu
hendaknya kita selalu memperhatikan ayat-ayat Allah Ta’ala agar
senantiasa tersadar akan keagungan-Nya.
Renungkanlah firman
Allah Ta’ala berikut ini,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ
النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ
الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ
الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Sesungguhnya dalam
pencip-taan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang
berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS.
Al-Baqarah, 2: 164).
Renungkan pula
keagu-ngan ciptaan-Nya yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi berikut
ini,
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ
مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ
تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ.َ
“Perumpamaan langit
yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang
sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang
sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” (HR. Muhammad bin Abi Syaibah
dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu
anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits
ash-Shahiihah [I/223 no. 109])
Selain dilandasi
kesadaran-kesadaran di atas, ibadah yang dilakukan manusia memiliki
sekurang-kurang-nya tiga tujuan:
Pertama, ghayatut
tadzallul (tujuan untuk merendah-kan diri kepada-Nya) dan
Kedua, ghayatul khudhu (tujuan untuk
menunjuk-kan ketundukkan kepada-Nya).
Manusia beribadah
kepada Allah Ta’ala untuk menun-jukkan kehinaan dirinya di hadapan
Allah Ta’ala serta mengakui kelemahan dan keterbatasan dirinya
di hadapan kekuasaan-Nya. Maka mereka tunduk dan patuh serta menyerahkan
segalanya hanya kepada Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm, 6: 162)
Al-Qurthubi
berkata: “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan.
Berbagai tugas /beban syari’at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai
dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan
kepada Allah Ta’ala….”.
Ketiga, ghayatul
mahabbah (tujuan untuk menunjuk-kan kecintaan kepada-Nya).
Manusia beribadah
kepada Allah Ta’ala untuk menunjukkan kecintaan sejati kepada-Nya; menunjukkan
hatinya yang selalu terpaut kepada-Nya. Oleh karena itu lisannya selalu basah
menyebut nama-Nya dan hatinya selalu puas kepada-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS.
Al-Baqarah, 2 : 165)
Dengan demikian
ibadah menjadi terasa begitu nikmat dan membahagiakan. Sebagian salaf mengungkapkan perkara kecintaan kepada Allah Ta’ala ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا
أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ
وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya
orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun
belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan
apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada
Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”
*****
Dalam beribadah
kepada Allah Ta’ala – dengan dilandasi kesadaran ter-hadap begitu
banyak nikmat-Nya dan begitu besar keagungan-Nya serta dilandasi tujuan untuk
menunjukkan kehinaan, ketundukkan, dan kecin-taaannya- hati manusia selalu
mengharu biru dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa
harap).
Khauf artinya ketakutan
dan kekhawatiran manusia atas siksa dan azab Allah Ta’ala. Di dalam
al-Qur’an Allah Ta’ala menyebutkan kalimat yang diucapkan
golongan al-abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan),
إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
“Sesungguhnya kami
takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang
bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insaan, 76: 10)
Sedangkan raja’
artinya adalah pengharapan manu-sia atas kemurahan, pengampunan dan kasih
sayang Allah Ta’ala. Kata raja’ dalam Al-Qur’an disebutkan
misalnya dalam ayat berikut,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي
سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al-Baqarah, 2: 218)
Khauf dan Raja’ ini
hendak-nya tumbuh seimbang dalam diri kita. Jangan sampai khauf menyebabkan
kita berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala; sementara
itu jangan sampai raja’ menyebabkan manusia menganggap remeh anca-man
dan siksa-Nya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ ،
مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ
مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang
mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berharap
sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat
yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk
memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar