Kamis, Mei 03, 2018

(Hakikat Ibadah)

Haqiqatul ‘Ibadah

Dalam pembahasan – pembahasan sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa manusia diberi amanah oleh Allah Ta’ala untuk beribadah.
Bahkan ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56).
Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini  bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barang-siapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyik-sanya dengan siksaan yang sangat keras.
Ibnu Katsir juga menge-mukakan tafsiran Ali bin Abi Thalib Kwh terhadap ayat ini, dimana Ali bin Abi Thalib kwh berkata, Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku.”
Sedangkan Mujahid me-ngatakan bahwa Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang. Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa tafsiran seperti ini didukung oleh makna firman Allah ta’ala, “Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia.” (QS. Al-Qiyamah : 36). Asy-Syafi’i menjelaskan tafsiran ‘sia-sia’ yaitu, “(Apakah mereka Ku-biarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?!”
*****
Ibadah yang dilakukan manusia kepada Allah Ta’ala hakikatnya adalah karena kesadaran (asy-syu’ur) terhadap dua hal.
Pertama, asy-syu’ur bikatsrati ni’amillah (kesadaran akan banyaknya nikmat-nikmat Allah).
Seorang manusia akan selalu termotivasi untuk melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala jika ia menya-dari bahwa seluruh kenik-matan yang dirasakannya selama ini adalah berasal dari Allah Ta’ala.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl, 16: 53)
Menyadari pula bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepa-danya tak terhingga banyaknya.
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl, 16: 18)
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melaksa-nakan ibadah shalat malam hingga kedua kakinya bengkak. Manakala ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyu-kur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, asy-syu’ur bi ‘adzhomatillah (kesadaran akan keagungan Allah).
Seorang manusia pun akan termotivasi untuk melaku-kan ibadah kepada Allah Ta’ala jika ia menya-dari betapa besar keagungan-Nya. Dialah Allah yang menjadikan bumi sebagai tempat kediaman, Dialah yang menghidupkan manusia di atasnya dan melimpahkan rezeki kepadanya, Dialah yang menjadikan langit dengan bintang-bintang yang gemerlapan.
Dialah yang telah menjadi-kan manusia dalam bentuk yang terbaik di antara para makhluk-Nya, Dialah yang memberikan kepada ma-nusia makanan dan minuman yang baik sebagai rezeki dari-Nya.
اللهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Mu’min, 40: 64)
Oleh karena itu hendaknya kita selalu memperhatikan ayat-ayat Allah Ta’ala agar senantiasa tersadar akan keagungan-Nya.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Sesungguhnya dalam pencip-taan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Baqarah, 2: 164).
Renungkan pula keagu-ngan ciptaan-Nya yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi berikut ini,
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ.َ
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” (HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah [I/223 no. 109])
Selain dilandasi kesadaran-kesadaran di atas, ibadah yang dilakukan manusia memiliki sekurang-kurang-nya tiga tujuan:
Pertama, ghayatut tadzallul (tujuan untuk merendah-kan diri kepada-Nya) dan 
Kedua, ghayatul khudhu (tujuan untuk menunjuk-kan ketundukkan kepada-Nya).
Manusia beribadah kepada Allah Ta’ala untuk menun-jukkan kehinaan dirinya di hadapan Allah Ta’ala serta mengakui kelemahan dan keterbatasan dirinya di hadapan kekuasaan-Nya. Maka mereka tunduk dan patuh serta menyerahkan segalanya hanya kepada Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm, 6: 162)
Al-Qurthubi berkata: “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas /beban syari’at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah Ta’ala….”.
Ketiga, ghayatul mahabbah (tujuan untuk menunjuk-kan kecintaan kepada-Nya).
Manusia beribadah kepada Allah Ta’ala untuk menunjukkan kecintaan sejati kepada-Nya; menunjukkan hatinya yang selalu terpaut kepada-Nya. Oleh karena itu lisannya selalu basah menyebut nama-Nya dan hatinya selalu puas kepada-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ ۗ
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 165)
Dengan demikian ibadah menjadi terasa begitu nikmat dan membahagiakan. Sebagian salaf mengungkapkan perkara kecintaan kepada Allah Ta’ala ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”
*****
Dalam beribadah kepada Allah Ta’ala – dengan dilandasi kesadaran ter-hadap begitu banyak nikmat-Nya dan begitu besar keagungan-Nya serta dilandasi tujuan untuk menunjukkan kehinaan, ketundukkan, dan kecin-taaannya- hati manusia selalu mengharu biru dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
Khauf artinya ketakutan dan kekhawatiran manusia atas siksa dan azab Allah Ta’ala. Di dalam al-Qur’an Allah Ta’ala menyebutkan kalimat yang diucapkan golongan al-abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan),
إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
“Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insaan, 76: 10)
Sedangkan raja’ artinya adalah pengharapan manu-sia atas kemurahan, pengampunan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Kata raja’ dalam Al-Qur’an disebutkan misalnya dalam ayat berikut,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah, 2: 218)
Khauf dan Raja’ ini hendak-nya tumbuh seimbang dalam diri kita. Jangan sampai khauf menyebabkan kita berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala; sementara itu jangan sampai raja’ menyebabkan manusia menganggap remeh anca-man dan siksa-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: