Agar Amal Diterima
Oleh: Ust Farid
Nu’man
Hasan
Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun.
Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan dua syarat.
Pertama, ikhlas
dan meluruskan niat.
Kedua,
bersesuaian dengan sunnah dan syara’.
Syarat pertama merupakan tanda benarnya batin,
syarat kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang syarat
pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal itu
tergantung niat.”(HR.
Muttafaq ‘alaih, dari Umar).
Ini adalah timbangan bagi batin.
Tentang syarat kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah
perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah).
Ini adalah timbangan zhahir.
Allah Ta’ala telah menggabungkan dua
syarat tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Alaberfirman: “Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu
memurnikan tujuan dan amal hanya untuk-Nya. Makna ‘berbuat
kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Berkata Fudhail bin ’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk
menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling
benar.
Ia
ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling
benar?”
Ia
menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar,
tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga
ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah
beramal di atas sunnah.”
Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat: “Maka
barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun
dalam beribadah.” (QS. Al
Kahfi: 110).
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang
ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan
syariat dan tidak dibenarkan sunnah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan
syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas
dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada dua contoh dalam masalah ini. Pertama,
membangun masjid dengan tujuan merusak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berssabda: “Barangsiapa
membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridha-Nya), Allah akan
bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih
dari Utsman bin ‘Affan).
Namun
hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi
mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan
ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid.
Jika
membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan
menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan
memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi
keburukan.
Kedua, berjihad untuk selain Allah Ta’ala.
Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran)
paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa ber-taqarrub kepada TuhanNya.
Namun
demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih
dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian,
membela suku dan tanahnya, dan lainnya.
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan
dari Abu Musa al Asy’ary Radhiallahu
‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab
Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi
wa sallam, ia
bertanya: “Ya Rasulullah, orang yang berperang demi rampasan
perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat,
maka siapa yang fi sabilillah?”
Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan
meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR.
Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan).
Imam an Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah Radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah ‘Alaihi
shalatu wa salam, lalu
berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang
untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?”
Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali.
Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas
dan mengharapkan wajah-Nya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar